Friday, December 23, 2011

Remember When

Posted by adena riskivia trinanda at 3:26 AM 0 comments
oke, share cerpen kakak gue lagi yah. Orang-orang sih pada nangis ngebeaca cerpen kakak gue yang satu ini, tapi kalo gue sih NGGAK muahahahaha. Selamat menangis yah HAHA~

Remember When
Original story by Firdausi

Gadis itu masih sama seperti hari-hari sebelumnya; duduk di atas kursi rodanya memandang keluar jendela transparan yang lebar sebagai pengganti dinding. Tatapannya kosong, entah memandang ke mana. Kurasa jiwanya sedang berputar-putar dalam halusinasinya. Rambutnya yang panjang semakin tak terawat, benar-benar kusam. Tapi dia lah wanita yang kucintai.
Aku menutup pintu kamarnya setelah lama terpaku menatapnya dengan perasaan yang campur aduk. Kuusahakan untuk tersenyum meski aku yakin ia tidak akan melihatnya. Perlahan aku berjalan menuju ke arahnya. Aku duduk dengan bertumpu pada lutut di sampingnya. Tanganku merengkuh tangannya yang tak bergerak di pegangan kursi rodanya. Ia menoleh padaku, masih dengan mata yang sama dan tanpa ekspresi. Hatiku begitu sakit, seakan-akan ribuan paku ditancapkan hingga menembus tubuhku. Meski begitu, aku berusaha tetap tersenyum.
“Selamat siang, Eve. Kau baik-baik saja hari ini?”
Tak ada jawaban darinya. Aku semakin menggenggam erat tangannya seraya berusaha tidak memudarkan senyum meski aku ingin menangis.
“Aku ingin bercerita padamu lagi. Maaf, jika mengganggu. Tapi aku berharap kau ingat….”
Aku mulai memenuhi ruangan itu dengan suaraku.
*****

Kau ingat? Kita bertemu tiga tahun yang lalu. Kita bertemu di sebuah café yang tak jauh dari sekolahku. Saat itu temanku memaksaku untuk ikut dengannya, bertemu gadis yang ia kenal dari jejaring sosial. Dia tidak berani datang sendiri hingga membawaku secara paksa untuk menemaninya. Aku benar-benar kesal padanya. Padahal ia bilang hanya minta temani ke toko buku untuk membeli komik yang terbit hari itu. Tapi dia menipuku! Yah, meski begitu, pada akhirnya aku harus berterima kasih padanya, karena tanpa dirinya yang membawaku paksa pada pertemuan kopi darat itu, aku tidak akan pernah mengenalmu.
Aku duduk di sampingnya tanpa bicara apa pun sembari melipat tangan. Sepertinya ia senang sekali bertemu dengan gadis yang ia kenal di jejaring sosial meski sedikit merasa canggung. Sesekali ia membawaku dalam percakapan mereka. Berkali-kali aku berdecak kesal. Lalu mataku tanpa sengaja melihatmu yang duduk di sebelah gadis itu.
Kau juga sepertinya tak peduli dengan masa pendekatan pasangan di sebelahmu. Kau hanya peduli dengan segelas es krim yang dihiasi berbagai macam buah. Lahap sekali kau memakan es krim itu sesendok demi sesendok. Kau bahkan tidak peduli seberapa berantakannya wajahmu saat itu. Rambutmu juga menjadi korban dari “kerakusan”-mu, kotor karena tanpa sengaja menyentuh es krim yang sudah habis separuhnya itu. Aku… benar-benar terpaku padamu saat itu. Bukan karena terpesona, hanya saja baru kali ini aku bertemu gadis cantik yang makan es krim dengan tidak anggun sepertimu.
*****

Kukira aku tak akan pernah melihatmu lagi. Tapi Tuhan berkata lain dan Ia kembali mempertemukan kita.
Aku baru pulang sekolah waktu itu. Karena ada komik favoritku diterbitkan semalam, bergegas kakiku melangkah memasuki toko buku dan tanpa basa-basi, aku mendatangi deretan komik-komik terbaru. Di saat itu, aku bertemu denganmu. Ah, lebih tepatnya aku menemukanmu.
Kau berjalan perlahan sambil mengamati satu per satu judul buku di bagian komik-komik pula. Kurasa kau juga baru pulang sekolah karena kulihat yang melekat pada dirimu saat itu adalah baju putih abu-abu. Jari telunjukmu mengetuk-ngetuk bibirmu yang tipis dengan tempo yang sama. Lalu matamu terbelalak dengan senyum lebar di wajahmu. Tanganmu dengan cepat mengambil satu komik yang aku sendiri tidak tahu apa. Sepertinya kau senang sekali.
Aku tersadar kembali dan mengalihkan perhatianku darimu. Jujur saja, aku sendiri tidak mengerti entah kenapa begitu tertarik melihat dirimu saat itu. Tapi segera kubuang jauh-jauh pikiranku dan mulai memokusan mata pada huruf-huruf yang tertera di setiap buku yang berderet di dalam rak.
Tapi suara brak yang nyaring kembali mengalihkan perhatianku. Sumber suara itu berasal dari kolom rak buku di depanku, tempatmu berada. Dan benar saja, saat aku menengok ke sana, kau sedang gelagapan membereskan buku-buku yang jatuh karenamu, mungkin. Wajahmu sedikit memerah, kurasa kau menanggung rasa malu yang cukup besar. Karena kebaikanku saat itu, aku tanpa pikir panjang ikut memunguti buku-buku yang berserakan.
“Terima kasih,” ucapmu dengan suara yang hampir pecah. Keringat mengucur di dahimu. Kau sepertinya benar-benar gugup, ya, waktu itu.
“Yaaahh, nggak masalah,” jawabku.
Kau hanya tersenyum lalu kembali berkutat pada buku-buku di rak. Tanganmu membawa tas toko buku. Kelihatannya cukup berat. Kau memang membeli banyak buku tapi aku tidak tahu apa saja yang kau beli itu.
“Banyak juga yang kau beli,” komentarku. Kau hanya menggumam kecil. “Ngomong-ngomong, gimana hubungan temanmu itu dengan temanku?”
Akhirnya kau memandangku. Tapi dari kerutan di dahimu, sepertinya kau sendiri bingung.
“Maaf, apa kita saling kenal?” pertanyaan itu membuatku berpikir kalau kau orang yang benar-benar cuek.
“Entah ingatanmu yang rendah atau memang kau nggak punya niat lihat sekitarmu, tapi kita pernah ketemu,” ujarku. Sepertinya saat itu kau kesal dengan perkataanku yang cukup tidak sopan, tapi kau diam saja, hanya menggumam, mempertanyakan sekali lagi. “Di café saat temanmu bertemu dengan temanku. Kau asyik sendiri dengan es krim di depanmu.”
“Oh… kau ada juga di sana, ya. Maaf. Evelin, biasa dipanggil Eve,” kau mengulurkan tangan.
“Ya, nggak masalah. Giovani, panggil saja Gie,” aku menyambut uluran tanganmu.
Dan dari situ lah kita mulai dekat.
*****

Saat kusadari aku telah bercerita cukup panjang, kulirik wajah gadis yang duduk di kursi roda tadi. Matanya tertutup. Pada saat itu juga kekhawatiran menghembus, menggelitik hatiku. Tapi gerakan jarinya yang masih dalam genggamanku, menjauhkan rasa khawatir itu. Tanpa sadar aku menghela napas lega.
Aku beranjak dan mengambil tempat berdiri di depannya, menghalangi cahaya matahari sore menyinari wajahnya yang begitu tenang. Kuelus sekali rambutnya yang kusut lalu mengangkatnya dari kursi roda dan membaringkannya di atas tempat tidur. Semakin hari kurasakan berat badannya semakin berkurang dari seberapa ringannya ia bisa kuangkat. Tubuhnya yang kurus itu kubalut dengan selimut. Sekali lagi aku mengelus rambutnya, kemudian kukecup keningnya dengan lembut.
“Aku pulang, ya, Eve. Aku sayang kamu,” kubisikan kata itu di telinganya meski saat ini ia tidak bisa mendengar – bukan karena tuli, tapi karena ia tidur. Suaraku benar-benar pecah karena sekuat tenaga aku menahan bening-bening air jatuh dari pelupuk mata.
Pelan-pelan aku menutup pintu kamarnya setelah lama memandangi tubuh kecil yang tak berdaya itu di atas tempat tidur.
*****

“Baby let me in
You are the one, you are the one
Who can make moments last forever
The one that makes the sunshine where ever you go
Why make it harder, than it has to be
Just listen, I’ll give you love
If you’ll give me your heart”

- C21: You Are The One –

Kau ingat lagu ini? Aku yakin tidak karena demensia yang kau derita saat ini. You Are The One milik C21 ini kupakai untuk menyatakan perasaanku padamu.
Saat itu terik mentari menjadi saksi bisu momen terindah dalam hidupku. Aku ditemani dengan gitar dan dukungan sahabatku, menunggumu di gerbang sekolahmu, kemudian menyanyikan lagu itu untukmu sambil berlutut. Entah seberapa merahnya wajahku saat itu karena malu dan sorak sorai penghuni sekolahmu yang juga ingin pulang. Yang pasti saat itu urat maluku sudah kuputus lebih dulu meski tanganku masih gemetar dingin saat memetik gitar untuk mengiringi lagu yang kunyanyikan.
Aku beranikan diri untuk melirik ke arahmu. Wajahmu tak kalah merah dengan wajahku. Bahkan kau salah tingkah, kaku, tidak tahu apa yang ingin kau lakukan. Temanmu yang pada akhirnya menjadi kekasih sahabatku itu mendorong-dorong tubuhmu ringan dan mendesakmu untuk menjawab pernyataan cintaku. Aku tersenyum saat mata kita bertemu. Bahkan bibirku pun gemetar.
“Eve…,” suaraku bahkan seakan berbisik.
Kau hanya mengangguk kecil dengan senyum yang tak bisa kau hentikan lagi. Dengan malu-malu kau sedikit memalingkan wajah.
“Kalau kau memaksa.”
“Kau suka padaku?” aku ingin memastikan. Kau hanya mengangguk sekali dan kembali menyembunyikan wajah.
Betapa bahagianya aku hanya karena satu anggukan darimu. Aku segera bangun dan berlari ke arahmu kemudian memelukmu. Kau meronta kecil memintaku untuk melepaskanmu karena sorak sorai dan puluhan tepuk tangan yang semakin riuh menggoda kita. Tapi aku tidak bisa melepaskanmu karena bahagia. Agar kutunjukkan pada orang-orang itu bahwa kau sekarang menjadi milikku.
*****

Hari-hari yang kulalui bersamamu begitu indah. Kau adalah warna dalam hitam putih kehidupanku. Tapi meski sebahagia apa pun kita, pasti ada konflik yang mendera dalam suatu hubungan.
Aku paling ingat saat kau berhari-hari tak mau bicara padaku. Kau tak tahu seberapa depresinya aku saat itu. Kuhubungi melalui ponsel pun, kau tak mau mengangkat. Kudatangi ke sekolahmu dan menunggumu di depan gerbang. Kau tak kunjung keluar karena kau lebih memilih jalan lain selain gerbang depan. Hingga akhirnya aku nekat mendatangi rumahmu.
Orang tuamu bilang bahwa kau tidak ingin bertemu denganku. Tapi aku berusaha untuk diijinkan masuk, paling tidak sampai depan kamarmu. Orang tuamu sepertinya iba padaku – ah, mungkin kesal dan lelah melayaniku – hingga akhirnya aku diperbolehkan masuk.
Kuketuk pintu kamarmu yang penuh tempelan stiker anime – Kau memang maniak anime sepertinya.  Tapi tak ada jawaban sama sekali darimu. Padahal aku yakin kau ada di dalam. Aku tahu jika aku hanya mengetuk pintu kamarmu saja, itu akan sia-sia. Jadi kumulai untuk bicara, entah itu akan berhasil atau tidak.
“Eve, kau di dalam, kan?”
Masih tak ada jawaban darimu.
“Kau marah padaku? Kenapa? Apa aku berbuat salah padamu?” seruntun pertanyaan itu kuberikan, tapi kau masih tidak bersuara. Kau benar-benar keras kepala. “Aku sayang kamu, Eve.”
“Bohong!” akhirnya kau angkat bicara meski dengan nada yang tinggi. Samar-samar kudengar suaramu serak.
“Aku nggak pernah bohong padamu.”
“Bohong! Kau selingkuh, kan? Aku lihat kau pergi dengan cewek lain.”
“Kapan?” tanyaku bingung. Bahkan aku sendiri tak ingat pernah pergi dengan wanita lain selain dirimu.
“Minggu lalu di supermarket. Cewek itu manis. Kau pacaran saja dengannya sana, bodoh!”
Kuputar kembali memori dalam otakku. Minggu lalu aku memang pergi ke supermarket. Tapi aku tidak pernah ingat pergi dengan wanita lain. Aku menghela napas panjang. Aku tahu kau telah salah paham.
“Aku nggak mau pacaran dengannya.”
“Sudahlah, aku nggak mau tahu lagi. Gie idiot! Bodoh!”
“Dia adikku,” ujarku di sela cacianmu.
“Hah? Kau mau bohong dengan beralasan murahan seperti itu?”
“Aku nggak bohong. Makanya, buka dulu pintu kamarmu ini. Aku ingin ketemu kamu,” bujukku.
Pada akhirnya kau membukakan pintu kamarmu. Wajahmu benar-benar berantakan karena air mata. Benar dugaanku, kau menangis. Aku segera saja memeluk tubuh mungilmu itu. Sekali lagi kau meledakan tangisanmu. Sebisa mungkin aku membujukmu untuk berhenti menangis dengan mengelus-elus kepalamu lembut.
Emosimu mulai stabil kembali. Kulepaskan kau dari rangkulan. Hidungmu benar-benar merah. Aku menepuk kepalamu ringan lalu tersenyum.
“Wanita yang kau lihat itu bukan selingkuhanku. Dia benar-benar adikku,” jelasku kemudian merogoh kantong celana untuk mengambi ponsel. Kutunjukan fotoku berdua dengan adik manisku itu. “Lihat. Kalau dilihat baik-baik aku dan dia mirip, kan? Mana mungkin aku dan dia pacaran, kan?”
Kau menoleh padaku. Matamu menelisik mencari pembenaran atas kalimatku dan kurasa kau mendapatkannya. Kau kembali memelukku erat. “Aku sayang kamu,” sepenggal kalimat itu keluar dari mulutmu.
Kuingat-ingat lagi, itu pertengkaran kita yang paling konyol. Kau salah paham hingga membuatku depresi. Aku selalu tertawa setiap kali mengingat hari itu.
*****

Tubuh gadis itu kini terbaring di tempat tidur. Bahkan untuk duduk di kursi roda pun ia tak punya tenaga lagi. Wajahnya semakin hari semakin pucat dan tirus. Tubuhnya benar-benar tak terawat. Kulit yang dulunya begitu mulus kini terasa kasar.
Aku duduk di sampingnya sambil terus menggenggam tangannya yang semakin hari semakin kecil. Suara indah personil C21 masih melantun melaui mp3 player yang kuletakan di samping telinganya. Agar ia ingat kenangan indah itu, agar ia mengingatku.

“I’m a circle incomplete
I’m a heart that barely beats
All the memory stay forever like tattoos
I’m a star without a sky
I’m hello with no goodbye
I’m the dreams we had that never will come true
That’s me with no you”

         - Bowling For Soup: Me with no you -

Playlist memutar lagu selanjutnya, membuatku sadar bahwa saat ini aku benar-benar rapuh. Satu-satunya penyemangatku adalah dia yang tak kalah rapuhnya dariku. Kupandangi wajah gadis di sampingku sembari kuelus-elus rambut kusamnya dengan lembut. Berkali-kali aku mengecup keningnya ringan. Tanpa sadar air mataku jatuh mengenai pipinya. Memoriku kembali ke masa itu.
*****

Seburuk-buruknya masalah yang mendera kita, berita tentang penyakitmu yang paling buruk.
Awalnya kau menunjukkan perubahan sikap. Kau yang selama ini ceria bagai matahari itu tiba-tiba saja murung seakan ada sesuatu yang menutupi cahayamu. Kau lebih senang menyendiri daripada berkumpul dengan teman-temanmu. Bahkan denganku pun kau tak ingin bertemu. Kau lebih sering menentang kedua orang tuamu. Padahal aku tahu kau adalah anak baik yang selalu membanggakan orang tuamu di setiap percakapan yang kita buat.
Kadang kau berteriak sendiri, menyudut di ujung dinding. Setiap kali ditanya, kau hanya kembali mengeluarkan lengkinganmu sambil menunjuk pada tempat yang tak ada apa-apanya. Tatapan matamu yang membelalak itu seakan-akan kau takut pada sesuatu. Tapi apa? Kau sendiri tak bicara bahkan padaku.
Tapi sikap itu hanya kadang-kadang saja kau tunjukan. Psikismu seakan sedang labil. Entah ada masalah apa yang menimpamu, kau pun tak bicara apa pun. Kutanya temanmu, kau sama sekali tak punya masalah yang bisa membuatmu begitu labil di sekolah. Mereka bilang kau berubah sikap tanpa alasan.
Orang tuamu kadang-kadang membawamu ke psikolog. Tapi tetap saja tak ada hasil karena kau tak bicara. Bahkan kau bilang bahwa kau tak pernah bersikap seperti itu.
Belum selesai dengan masalah psikis-mu yang mulai hancur itu, kau semakin hari semakin ceroboh saja. Tidak ada batu, tidak ada sesuatu yang bisa membuatmu hilang keseimbangan, kau jatuh begitu saja.
Lalu suatu hari aku sedang bercanda denganmu. Aku mengambil topi yang kau pakai dengan usil dan menjauhkan darimu. Kau berusaha menggapainya, tapi tak bisa. Melihat pipimu yang mulai menggembung, aku tahu kau kesal. Jadi kubiarkan kau agar bisa mengambilnya. Tapi kulihat tanganmu tak kunjung mengambil topimu. Kau seperti sengaja menggerakkan tanganmu ke kiri atau ke kanan topi.
“Jangan bercanda, Eve…,” ujarku. Tapi wajahmu tak menunjukkan bahwa kau sedang bercanda.
“Aku… bukan sedang bercanda, Gie. Kenapa…” kau sendiri heran dan masih berusaha mengambil topi di tanganku yang berada di depanmu.
Seandainya itu hanya bercanda, aku pasti akan tertawa lebar. Tapi kerutan di dahimu yang dalam dan rasa takut yang tergambar jelas di wajahmu itu membuktikan bahwa kau tidak sedang bercanda. Lagipula kau bukan aktor yang baik untuk berbohong.
Aku menyerahkan topi itu padamu. Tanganmu gemetar dahsyat. Aku segera merengkuhnya dan menggenggam tanganmu dengan erat. Aku bisa merasakan ketakutanmu saat itu. Kau menangis dalam diam, dalam pelukanku.
*****

Ataksia. Begitu dokter bilang. Penyakit yang menyerang sistem syaraf hingga keseimbanganmu semakin berkurang. Penyakit berbahaya yang banyak merenggut nyawa orang. Mendengar kau mengidap penyakit itu, aku seakan dipukul dengan ribuan ton besi. Tapi aku tahu, bahwa kau lebih menderita daripada aku. Kau yang menanggung semua kesakitan itu.
Tapi pada akhirnya, ataksia bukan masalah utamamu. Semua diketahui saat kau mengalami demensia yang cepat. Demensia merupakan bahasa kedokteran untuk daya ingatan yang turun. Bahkan kau bertanya padaku, “Kau siapa?”
Kau tahu? Betapa sakitnya hatiku ketika tahu kau begitu mudahnya melupakan aku. Betapa hancurnya aku saat pertanyaan itu meluncur dari mulutmu. Betapa seringnya aku dijatuhkan dalam jurang yang dalam karena tatapan matamu yang merasa asing padaku. Tapi seberapa pun sakitnya aku, kau masih lebih sakit. Melupakan orang yang kau cintai adalah hal yang paling menyakitkan meski kau sendiri tak merasakannya, aku tahu itu. Jadi aku berusaha untuk bangkit  dan tetap tersenyum untuk menjadi penopangmu meski kau tak kenal padaku lagi.
Creutzfeldt-Jakob, nama penyakitmu yang sebenarnya. Perubahan sikap, halusinasi, dan ataksia hanya awal dari penyakit mematikan yang kau derita. Penyakit yang disebabkan oleh prion;  penyebab penyakit yang hanya terdiri dari protein yang menyerang sistem syaraf pusat. Dokter bilang penyakit ini jarang sekali ditemukan bahkan perbandingannya 1:1000.000 dan dulu hanya menjangkiti orang tua. Tapi sekarang beda. Penyakit ini juga bisa menyerang anak muda sepertimu.
Tapi dari jutaan manusia itu, kenapa harus kau yang menderita karena penyakit ini. Kenapa harus kau yang merasakan sakit. Orang bilang Tuhan memberikan cobaan sesuai dengan kemampuan mereka untuk mengatasinya. Lalu apa kau cukup tangguh untuk melawan penyakitmu? Apa kau sanggup menanggungnya dengan tubuh mungilmu? Seandainya aku bisa, aku ingin sekali menggantikanmu.
*****

Kali ini air mataku benar-benar tak terbendung. Memutar memori pada hari-hari menyakitkan dan sepi itu membuatku menjadi laki-laki tak berdaya. Aku semakin erat menggenggam tangannya, semakin sering mengelus rambutnya dan berkali-kali membisikannya kata cinta, berharap ia bangun dengan hal itu.
Dokter bilang dia hanya bisa bertahan empat bulan. Tapi satu setengah tahun sudah berlalu dan jiwanya masih menyangkut pada raganya. Dokter itu salah dan kurasa Tuhan memang memberikan cobaan pada orang yang tepat. Meski dengan tubuh kecilnya itu, ia bisa bertahan selama ini. Maka dari itu, aku menunggu keajaiban saat ia membuka mata dan berkata, “Aku sayang kamu, Gie.”
“Eve, bangunlah.  Ayo kita ke taman bermain lagi. Aku janji nggak akan mengajakmu ke rumah hantu lagi. Aku tahu, kau nggak suka,” bisikku dalam isak tangis. “Eve…”
Kurasakan jemarinya bergerak menggenggam tanganku. Aku melirik melihat wajahnya. Napasnya terdengar berat dan pendek. Aku berharap ia segera membuka mata.
“Eve… Eve…. Eve, bangun, Eve…”
Pada akhirnya semakin lama napasnya semakin ringan hingga kurasakan tak ada udara yang keluar dari paru-parunya. Tangannya yang menggenggam tanganku perlahan mulai lepas dan lunglai. Kulihat setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya tapi sebuah senyum kecil terpampang di wajahnya.  Ia tidur dan tak mungkin untuk membuka mata lagi.
Air mataku semakin tak terbendung.  Aku masih menggenggam tangannya yang tanpa denyut nadi itu dengan erat. Aku diam, hanya tenggelam daam kesedihanku. Kali ini aku benar-benar jatuh karena satu sayapku telah lenyap.
Eve, apa kau begitu menderitanya hingga memilih untuk meninggalkanku sendirian di sini? Apa kau sekarang bahagia? Kurasa ya dari senyum yang tersungging di wajahmu untuk terakhir kalinya. Kalau memang begitu, aku merelakanmu. Selamat tinggal, Eve. I always love you until I die.
*****

- Epilog -
Aku merasa asing. Bahkan dengan orang di sekitarku pun aku tak kenal. Mereka bilang aku hilang ingatan karena penyakit yang kuidap. Penyakit itu membuat daya ingatku semakin lama semakin menurun hingga aku melupakan segalanya. Entah mereka bohong atau tidak, tapi mereka merawatku dengan penuh kasih sayang.
Lalu lambat laun tempatku semakin berubah tak nyata. Aku jatuh dalam halusinasiku semakin dalam hingga pada akhirnya aku hanya diam saja menerima dunia halusinasi itu. Bahkan aku tak mengerti mana yang nyata dan mana ilusiku. Tapi satu hal yang kutahu, suara yang selalu mendongengkanku tentang masa lalu adalah sesuatu yang paling nyata di duniaku.
Suara laki-laki itu begitu indah saat menceritakan masa lalunya bersamaku. Kadang terdengar begitu senang tapi kadang aku bisa merasakan kesedihannya dari suara yang kadang berubah lirih.
Lalu pada saat akhirnya aku sama sekali tak bisa bergerak dari tempat tidur, aku mendengar suara tangisnya. Lirih seakan-akan jika tidak kuraih, ia akan hancur. Jadi kuusahakan menggenggam tangannya. Aku jatuh cinta padanya di akhir hidupku. Mungkin untuk kedua kalinya. Kuharap ia tidak akan hancur karena aku telah meraih tangannya, berusaha membuatnya tetap berdiri tegap.
Kuucapkan untuk terakhirnya meski kau tak mendengar. “Aku sayang kamu…, Gie.”

“Goodbye sun shine
Take care of yourself
I have to go, I have to go
And leave you alone
But always know, always know
That I love you so”

         - Avril Lavigne: Goodbye -

Saksi Bisu

Posted by adena riskivia trinanda at 3:20 AM 0 comments
oke, gue post lagi cerita bikinan kakak gue yah. yuks marih~

Saksi Bisu
Oleh Firdausi R.

Kamar kecil ini dikelilingi garis kuning polisi yang membatasi ruang lingkup kamar dengan ruang di balik pintu. Cahaya blitz menyeruak ke seluruh ruangan; entah itu dari para wartawan yang sedang memburu berita di luar area garis kuning atau tim forensik yang menyelidiki kasus ini. Mereka tenggelam dalam kesibukan masing-masing, memotret TKP untuk dijadikan barang bukti penyelidikan. Beberapa pria berseragam coklat berkerumun memandangi lantai yang bersimbah darah kering. Mereka berdebat mengeluarkan pemikiran masing-masing tentang apa yang telah terjadi di ruang kecil ini.
*****

Beberapa saat sebelumnya, tergeletak jasad seorang wanita remaja di atas darah yang menodai keramik putih itu. Wanita remaja dengan wajah tirus seakan-akan kurang gizi. Kematiannya diduga bunuh diri akibat depresi dan itu benar karena aku tahu semua tentang wanita itu.
Aku melihat dengan jelas saat ia meregang nyawa. Ia masuk ke kamar dengan mendobrak pintu begitu kasar. Suatu emosi yang besar mendorongnya untuk berlaku kasar. Air matanya menetes, ia menangis sesegukan sambil terus mencoba menghubungi seseorang melalui ponselnya. Tapi kurasa tak ada jawaban di ujung sana karena kulihat ia terus mengumpat kesal. Tangan kanannya mengelus-elus perutnya yang terus membuncit sejak beberapa bulan lalu, aku lupa kapan tepatnya. Semakin ia mengelus perutnya, semakin ia mengerutkan dahinya lebih dalam, dan semakin parah sesegukannya.
Setelah lama menunduk serta putus asa karena seseorang di seberang sana tidak mengangkat teleponnya, ia mulai mendongakkan kepalanya, melemparkan pandangannya ke seluruh ruangan. Seakan dapat pencerahan setelah melihat tempat tidur yang ia duduki, ia tersenyum, tetapi kulihat begitu getir. Kulihat ia mulai berdiri di atas tempat tidurnya yang empuk. Setelah mengambil napas yang dalam, ia meloncat-loncat di atas tempat tidur. Gaya pegas dan gravitasi mempermainkannya. Ia melayang semakin tinggi dan semakin tinggi.  Pada akhirnya, dengan sengaja ia menjatuhkan diri ke lantai tanpa menggunakan daya keseimbangannya. Ia sengaja menjatuhkan diri dengan menghentak duduk di lantai.
Ia tidak berteriak, tapi wajahnya menunjukkan bahwa ia benar-benar kesakitan, meringis, memegangi pinggangnya agar tidak menggeliat lebih dari itu. Darah mulai mengalir dari selangkangannya. Kulihat ia berkeringat dingin, napasnya mulai tidak teratur. Semakin deras saja cairan merah itu merembes, membuatnya semakin tak berdaya. Ia tidak berteriak, mungkin sengaja. Aku pun hanya bisa diam saja tanpa berbuat dan berkata apa pun. Tubuhnya lunglai, jatuh di atas keramik dingin. Semakin lama napasnya semakin lemah kemudian senyap. Matanya sesaat memandangku sebelum benar-benar tertutup. Dan ia tersenyum ambigu padaku sebelum malaikat kematian mengambil nyawanya.
*****

Salah satu pria berseragam coklat itu mulai mengalihkan pandangannya. Ia memandangku yang berada di sudut lemari dengan berkacak pinggang pada tubuhnya yang tidak kurus tapi tidak juga gemuk, namun tegap itu. Pandangan matanya menelisik. Ia terkekeh seakan menghina. Senyum mengejeknya itu membuat wajahnya terlihat bulat dengan rambut plontos yang ia miliki. Ia menepuk punggung temannya yang masih menyelidiki TKP, membuat perhatian temannya itu teralihkan.
“Hei, hei! Lihat itu.  Mengerikan, bukan?  Lusuh sekali,” kalimat hinaannya itu tertuju padaku. Jelas sekali karena telunjuknya sedang menunjuk ke arahku. Aku hanya diam tidak mungkin bicara. Temannya itu memandangnya kesal.
“Bekerjalah yang benar. Jangan menunjuk-nunjuk barang orang seenaknya sendiri. Mungkin itu boneka kesayangan korban,” tegurnya lalu kembali pada penyelidikannya.
Pria plontos itu hanya terkekeh seperti tadi dengan nada hinaan. Sekali lagi ia memandang ke arahku dan tersenyum. Lalu ia juga kembali ikut dalam perdebatan para polisi.
Benar kata temannya tadi. Meski aku lusuh dan tak terawat, dulu aku bersih dan cantik. Aku boneka kesayangan gadis yang sudah kehilangan lilin hidupnya itu. Dan aku tahu semua kehidupan gadis itu. Mata hitam yang bulat mengkilat milikku ini telah merekam kehidupan remaja yang telah tewas itu.
*****

Dulu sekali, saat kurasa umurnya empat tahun, ia memelukku begitu lembut yang masih terpajang di lemari penjualan. Ia merengek-rengek kepada ibunya untuk dibelikan boneka yang menyerupai anak perempuan, aku. Ibunya dengan terpaksa merogoh kocek agar anaknya tidak menangis lagi. Ia sedikit kesal, tapi melihat senyum anaknya yang begitu lebar terpampang, kekesalan itu menguap dan berganti rasa maklum.
Setiap hari Lila, begitu nama gadis tersebut, menyisir rambutku yang hitam kemerahan dengan senyum polosnya. Selalu membawaku kemana-mana. Dan ia hampir setiap hari mengajakku bermain dalam drama ibu-ibuan favoritnya. Lakonku sebagai anak dan dia ibuku. Begitu terus hingga akhirnya ia beranjak sebelas tahun.
Gadis itu semakin dewasa. Satu lapis kepolosannya telah lenyap. Ia tidak lagi memerankan peran ibu dan aku bukan lagi anaknya. Aku hanya boneka kesayangannya yang patut dipajang di samping tempat tidurnya. Tidak pernah lagi tangan kecilnya menyentuh rambutku, merawatku sedemikian rupa. Kini fungsiku berubah. Aku menjadi tong sampah hatinya.
Dia gadis yang mulai beranjak remaja. Setiap hari dia pulang sekolah, ia memandangku lalu meletakkanku di hadapannya. Setiap hari ia bercerita; tentang teman-temannya, tentang guru, dan tentang orang tuanya. Juga tentang kegembiraannya, kekesalannya, serta kesedihannya. Aku tak pernah bosan mendengarnya bicara karena aku juga tidak punya hak untuk menolak mendengarkan gadis itu bicara. ‘Toh aku hanya boneka yang tak bisa bergerak dan berkata-kata.
Semakin hari yang dibicarakannya selalu sama, tentang seorang pemuda yang kutahu namanya Erik. Kadang ia bercerita dengan kesal, tapi ada sedikit kegembiraan tersirat di wajahnya yang memerah saat menceritakan hal itu. Cinta, seperti itu manusia menyebutnya. Gadis itu mulai belajar satu perasaan yang baru yang belum pernah ia rasakan. Satu bibit mulai tumbuh di hatinya.
“Susan,” begitu dia memanggilku. “Kau tahu, nggak? Erik itu menyebalkan! Masa dia mengejekku dengan sebutan rambut mie cuma gara-gara rambut keriting? Padahal ‘kan rambutku indah seperti Susan.”
Begitu dia sering bercerita. Umurnya baru dua belas saat itu. Satu lapis kepolosan lagi telah terbuka, kini berganti dengan kedewasaan. Dunianya tidak sesempit yang dulu. Ia semakin membuka pintu, berjalan-jalan dan menemukan suatu perasaan yang baru. Tapi ia belum sadar. Hingga akhirnya umurnya beranjak tiga belas. Ia tahu apa nama bunga yang baru bermekaran mengisi hatinya.
Ia merebahkan diri di atas kasur. Saat menoleh, ia menemukanku yang terduduk di sudut tempat tidur di samping bantal. Ia mengambilku dan mengangkatku tinggi-tinggi, memandangku seakan-akan ingin menemukan kata-kata yang tepat sebelum bicara. Lalu ia menarikku mendekati wajahnya.
“Erik…. Begitu-begitu ternyata dia orang yang baik. Tadi siang dia membantuku membersihkan toilet karena datang terlambat,” ujarnya. Kulihat wajahnya bersemu merah. “Apa, ya? Aku merasa senang sekali. Aku jatuh cinta, ya,” sirkulasi darahnya semakin berpusat di pipinya, merah sekali. “Gimana, dong, ini Susan. Aku bisa mati, nih, kalau berhadapan dengannya,” lanjutnya bicara dan memelukku erat-erat. Aku tahu suhu tubuhnya meningkat karena tekanan darahnya yang semakin kuat.
Umur lima belas, ia tidak lagi bicara denganku dan aku tersingkir, mendapatkan tempat di atas lemari bukunya. Meski begitu aku masih bisa mengamati apa yang ia lakukan. Ia semakin beranjak dewasa. Mulai memakai make up, dan bersolek ‘bak seorang gadis kota. Bukan lagi boneka yang ia pegang, tapi ponsel. Tangannya tak pernah berhenti mengetik papan tombol ponsel miliknya. Kadang ia berbicara melalui kotak kecil itu. Dan jika suaranya melembut, itu berarti telepon dari pria bernama Erik.
Yang kutahu, sejak enam bulan yang lalu akhirnya ia berhasil mendapatkan Erik. Saat itu ia masih malu-malu dan kaku bicara pada laki-laki itu melalui ponsel. Tapi sekarang tidak. Ia bicara lebih santai, sudah terbiasa dengan suasana itu. Tapi beberapa hal tidak berubah darinya, yaitu senyuman lembutnya serta wajah semunya saat bicara dengan laki-laki itu diujung telepon.
*****

Umurnya tujuh belas tahun ini. Aku semakin diabaikan olehnya, masih terbengkalai di atas lemari dengan debu yang menumpuk di atas rambut yang dulu begitu ia puji-puji. Ia menapaki jenjang kedewasaan. Kepolosannya kini sudah menghilang dibalik realita yang terus ia konsumsi. Kini ia menjadi gadis pesolek yang tak akan keluar rumah tanpa aksesori dan make up. Dia sudah berubah. Berubah karena lingkungan dan pergaulan, juga oleh laki-laki bernama Erik yang berhasil semakin memekarkan bunga dalam sela jantungnya.
Hingga akhirnya hari itu datang, akar dari semua masalah yang telah terjadi. Ayah dan ibu Lila pergi ke luar kota membanting tulang,  mencari biaya sekolahnya dengan bekerja keras. Lila anak tunggal, hingga ia hanya sendirian di rumah yang begitu luas itu jika tidak ada orang tuanya. Kulihat ia masuk ke kamar tidak sendirian,  tapi dengan seorang laki-laki asing yang tak kukenal. Tapi melihat wajah bahagianya yang bersemu itu, aku yakin laki-laki itu adalah Erik.
Erik bukan laki-laki jelek secara fisik. Ia tampan juga tinggi dengan tubuh kurus berisi. Penampilannya menyerupai anak band jaman sekarang. Senyumnya mematikan. Tak heran jika Lila jatuh cinta padanya. Kulihat matanya yang begitu polos memandang Lila, ia juga tulus mencintai gadis itu.
Mereka berdua duduk di atas tempat tidur sambil bersenda gurau, seakan-akan dunia milik mereka berdua. Aku hanyalah penonton di balik layar. Hingga akhirnya mereka saling diam berbalas pandang, seakan bertelepati menyatakan perasaan masing-masing. Keduanya bersemu merah.
“Lila, aku sayang kamu.”
“Aku juga, Erik. Aku sayang kamu,” balasnya dengan senyuman yang meluruhkan tiang iman Erik.
Mereka lalu saling menautkan bibir. Didorong oleh setan, nafsunya terus bergejolak hingga kecupan itu berubah liar. Tangan Erik mulai menggerayangi tubuh Lila dengan masih saling menautkan bibir. Semakin liar, Erik mulai menjatuhkan kecupannya ditengkuk Lila. Tangannya tak lagi bermain di pinggang, tapi bertualang menggapai seluruh tubuh hingga akhirnya menuju pada bagian-bagian sensitif. Laki-laki itu menempatkan tangannya di balik baju Lila. Dan gadis itu tak berniat sekali pun untuk berontak. Ia pasrah memejamkan mata, membiarkan tubuhnya dimiliki oleh Erik. Lila menahan rasa kenikmatan yang mulai mencapai ubun-ubun.
“Aku sayang kamu, Lila. Sungguh sayang,” bibir Erik tak berhenti mengucapkan kata rayuan tanpa menghentikan pergerakannya.
Aku melihat segalanya. Juga mendengar desahan-desahan nafsu yang mereka keluarkan. Tanpa mereka tahu setan telah berhasil membimbing mereka ke jalan yang ia inginkan.
*****

Dua bulan setelah itu, Lila sering merasa tak enak badan. Aku sering melihatnya pulang lebih cepat dengan wajah yang pucat. Baru sebentar ia berebah, perutnya bergejolak ingin mengeluarkan isi di dalamnya. Kulihat kekhawatiran di wajahnya. Ia merogoh tas, mengeluarkan sebuah alat yang dibelinya di apotek. Kurasa itu tes urin.
Ia keluar kamar membawa alat itu. Tak lama ia kembali. Wajahnya depresi, lebih dari sebelumnya. Matanya berkaca-kaca. Ia menahannya agar tak keluar sambil mencengkram sebagian rambutnya. Lalu ia merogoh ponsel di dalam kantong kecil tasnya. Ia mengetik dua belas digit nomor yang ia hapal betul sembari duduk di ujung tempat tidurnya.
“Halo,” seseorang di seberang sana menjawab. Aku bisa dengar karena Lila sengaja me-load speaker ponselnya.
“Erik…,” suaranya begitu lirih hingga terdengar pecah.
“Kenapa, sayang? Kau ada masalah?” suara rendah dan berat di ujung sana terdengar khawatir.
“Erik… Aku hamil…,” kali ini Lila tidak berhasil membendung air matanya. Saat ini wajahnya sudah dibanjiri oleh linangannya.
“… Jangan bercanda, sayang!”
“Aku nggak bercanda! Bagaimana ini, Erik? Aku takut… benar-benar takut,” air matanya semakin membanjiri wajahnya hingga mukus pun mulai memenuhi rongga hidungnya. Sesaat tak ada sahutan di ujung sana.
“Tenang, sayang. Aku akan bertanggung jawab. Tenanglah. Tapi untuk beberapa saat ini mohon jangan temui aku. Aku ada urusan sebentar.”
“Kau tak bohong, kan?”
“Nggak. Aku janji. Aku akan menikahimu.”
“Aku pegang janjimu. I love you, dear,” seulas senyum harapan terpampang di bibir Lila.
I love you.
Telepon kemudian begitu saja diputuskan.
*****

Dengan keberanian yang ada, Lila bicara jujur pada orang tuanya. Aku memang tidak melihat saat ia bicara dengan nada takut-takut kepada kedua orangnya. Tapi aku bisa mendengar suara teriakan amarah dari ayah Lila yang sudah mulai menapaki masa senjanya. Dan ibu Lila, meski ia juga menyimpan amarah, ia lebih memilih untuk memadamkan api kemarahan suaminya. Lila hanya diam dan meminta maaf dan bilang bahwa laki-laki yang menghamilinya itu akan segera bertanggung jawab.
****

Semenjak itu, ia mengundurkan diri dari sekolah karena tidak memungkinkan baginya untuk menjalani hari-hari seperti biasa dengan perut yang terus membuncit. Ia juga tidak pernah lagi berhubungan dengan Erik. Meski laki-laki itu bilang padanya akan bertanggung jawab, tapi tak sekali pun batang hidungnya muncul di hadapan Lila. Bahkan ia tak menampakkan suaranya meski hanya melalui ponsel.
Setiap hari gadis yang dulu selalu memanjakanku itu memandangi layar ponselnya, lalu kadang ia menekan dua belas digit nomor yang sama dan mencoba menghubunginya. Tapi nihil. Tak ada yang mengangkat, hingga akhir-akhir ini jika nomor itu dihubungi, yang menjawab adalah suara perempuan yang selalu bicara sama: nomor ini sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi.
Terhitung empat bulan semenjak kehamilannya diketahui. Perutnya benar-benar membuncit. Tapi laki-laki yang mengumbar janji itu tak pernah datang,  bahkan dicari ke sekolah pun ia tidak ada. Katanya sudah lama ia pindah ke luar negeri.
Wajah gadis itu semakin tirus. Kurasa ia sudah lama tidak makan dengan teratur. Pandangan matanya begitu kosong. Rambutnya pun entah sudah berapa lama tak tersisir rapi. Padahal dulu ia begitu pesolek, berusaha tampil lebih cantik daripada siapa pun. Tapi keadaan saat ini membuatnya seperti kehilangan akal sehat.
Di hari kelima setelah empat bulan berjalan, orang tuanya yang sedang pergi ke luar kota untuk bekerja, meneleponnya, menagih janji laki-laki yang sudah menanam bibit di perutnya. Tapi ketika mendengar bahwa laki-laki itu menghilang tanpa jejak, meninggalkan putri mereka dengan keadaan berbadan dua, membuat mereka marah besar, terutama ayahnya. Ayahnya menyebutnya anak yang tak tahu diri dan dengan kalap lelaki tua itu menyebut puteri semata wayangnya itu wanita jalang.
Mendengar perkataan itu, kestabilan jiwa Lila yang sudah goyah semakin bertambah labil. Ia mendobrak pintu kamar, membuang diri di atas tempat tidur, dan berusaha terus menelepon nomor yang selama ini tak terhubung lagi.
Sejurus kemudian, itulah yang terjadi. Tubuh gadis itu lunglai di samping tempat tidur dengan darah yang mengalir melalui selangkangan. Sebelum benar-benar menutup matanya, ia memandang ke arahku dengan senyum ambigu seakan-akan memorinya kembali ke masa lalu dan dari mulutnya terucap kata maaf tanpa suara, hanya gerak bibirnya yang menjelaskan hal itu.
*****

Dua hari kemudian baru lah orang tuanya pulang. Mereka terkejut dan tak percaya ketika menemukan anaknya dengan tubuh kaku dan tak bernyawa tergeletak di atas keramik putih. Darah yang keluar sudah membeku dengan sempurna.  Bau busuk sudah menyebar. Begitu pula bau darah yang anyir begitu menyengat, menyeruak ke seluruh ruangan.
Ibunya menangis meraung-raung. Suaminya pucat pasi, merasa bersalah dengan kalimat terakhir yang ia ucapkan pada puterinya, jalang. Begitulah akhir cerita dari gadis polos yang berperan sebagai ibuku itu.
Manusia itu mudah berubah seiring aliran waktu.  Satu demi satu kepolosan dari hati setiap insan akan terlepas akibat realita dan pergaulan. Imajinasi anak-anak berubah menjadi nafsu yang tak terbendung, jika tanpa pertahanan tiang yang kuat. Lalu nafsu membawa mereka pada penyesalan. Tanpa pondasi, penyesalan membawa mereka menuju jalan yang lebih sesat. Begitulah manusia. Aku adalah saksi bisu kehidupan salah satu ciptaan Tuhan yang tidak sempurna karena kesempurnaan yang dimilikinya itu.
*****

Wednesday, December 21, 2011

suppanat jittaleela in borobudur

Posted by adena riskivia trinanda at 9:32 PM 0 comments
mau nge share foto Tina dan keluarga waktu mereka berwisata ke Indonesia dan pergi ke Borobudur. Oke, enjoy it! :)
ciyeh kayak anak cina yang tersesat ._. eh tapi dia orang thailand lohhh





plis jangan bikin gue melting :3

anjirrrrrrrrrrrrrr imut bangetssssss

eciyeh keluarganya~




udah yah ngeshare fotonya. cuman dapat 4 sih soalnya -_-
bubayyyyyy

suppanat jittaleela

Posted by adena riskivia trinanda at 2:42 AM 0 comments
nah, yg kaya gue bilang, gue bakal nge share tentang tina, pemain film "Yes or No" yang jadi Kim nya. oke capcusssss....

Tina 'Suppanat Jittaleela'
Tina 'Suppanat Jittaleela'
Profile (taken from the topic Tina @ LK)
Name: Tina Jittaleela
DOB: February 12, 1991
Constellation: Aquarius
Gender: Female
Nickname: Tina
Height: 170
University: RUNGSIT University, Chiang Mai University
High School: School Satriwithaya
Birthplace: Bangkok, Thailand
Parents: Piyawan Jittaleela
Brothers and sisters: Nichapa Jittaleela, Podchara Jittaleela, Tatae Jittaleela
Favorite drama: Gossip Girl
Favorite singer: Mark Ronson, Samantha Ronson, Air Quartet
Favorite movie: What Dreams May Come, Toy Story, The Little Green Men
Favorite clothing brand: Marc Jacobs
Present work: 98 FM DJ @ Pynk
Facebook: Tiniiz
Twitter: http://twitter.com/tiniiz
Fanpage: http://www.facebook.com/TinaSuppanard


 o my god, ini cewek apa cowok siiiii -_-

 
 
yang ini ganteng nya setengah mampus :3

anjir, sumah keren abis....

melting nih

 senyumnya nggak nahan :3






ganteng banget mbaaaaaaaa

oke, segitu aja yah share tentang tina :) entar gue share foto tina sama aom . Ada juga ntar gue share foto Tina di borobudur, indonesia.

Friday, December 23, 2011

Remember When

Posted by adena riskivia trinanda at 3:26 AM 0 comments
oke, share cerpen kakak gue lagi yah. Orang-orang sih pada nangis ngebeaca cerpen kakak gue yang satu ini, tapi kalo gue sih NGGAK muahahahaha. Selamat menangis yah HAHA~

Remember When
Original story by Firdausi

Gadis itu masih sama seperti hari-hari sebelumnya; duduk di atas kursi rodanya memandang keluar jendela transparan yang lebar sebagai pengganti dinding. Tatapannya kosong, entah memandang ke mana. Kurasa jiwanya sedang berputar-putar dalam halusinasinya. Rambutnya yang panjang semakin tak terawat, benar-benar kusam. Tapi dia lah wanita yang kucintai.
Aku menutup pintu kamarnya setelah lama terpaku menatapnya dengan perasaan yang campur aduk. Kuusahakan untuk tersenyum meski aku yakin ia tidak akan melihatnya. Perlahan aku berjalan menuju ke arahnya. Aku duduk dengan bertumpu pada lutut di sampingnya. Tanganku merengkuh tangannya yang tak bergerak di pegangan kursi rodanya. Ia menoleh padaku, masih dengan mata yang sama dan tanpa ekspresi. Hatiku begitu sakit, seakan-akan ribuan paku ditancapkan hingga menembus tubuhku. Meski begitu, aku berusaha tetap tersenyum.
“Selamat siang, Eve. Kau baik-baik saja hari ini?”
Tak ada jawaban darinya. Aku semakin menggenggam erat tangannya seraya berusaha tidak memudarkan senyum meski aku ingin menangis.
“Aku ingin bercerita padamu lagi. Maaf, jika mengganggu. Tapi aku berharap kau ingat….”
Aku mulai memenuhi ruangan itu dengan suaraku.
*****

Kau ingat? Kita bertemu tiga tahun yang lalu. Kita bertemu di sebuah café yang tak jauh dari sekolahku. Saat itu temanku memaksaku untuk ikut dengannya, bertemu gadis yang ia kenal dari jejaring sosial. Dia tidak berani datang sendiri hingga membawaku secara paksa untuk menemaninya. Aku benar-benar kesal padanya. Padahal ia bilang hanya minta temani ke toko buku untuk membeli komik yang terbit hari itu. Tapi dia menipuku! Yah, meski begitu, pada akhirnya aku harus berterima kasih padanya, karena tanpa dirinya yang membawaku paksa pada pertemuan kopi darat itu, aku tidak akan pernah mengenalmu.
Aku duduk di sampingnya tanpa bicara apa pun sembari melipat tangan. Sepertinya ia senang sekali bertemu dengan gadis yang ia kenal di jejaring sosial meski sedikit merasa canggung. Sesekali ia membawaku dalam percakapan mereka. Berkali-kali aku berdecak kesal. Lalu mataku tanpa sengaja melihatmu yang duduk di sebelah gadis itu.
Kau juga sepertinya tak peduli dengan masa pendekatan pasangan di sebelahmu. Kau hanya peduli dengan segelas es krim yang dihiasi berbagai macam buah. Lahap sekali kau memakan es krim itu sesendok demi sesendok. Kau bahkan tidak peduli seberapa berantakannya wajahmu saat itu. Rambutmu juga menjadi korban dari “kerakusan”-mu, kotor karena tanpa sengaja menyentuh es krim yang sudah habis separuhnya itu. Aku… benar-benar terpaku padamu saat itu. Bukan karena terpesona, hanya saja baru kali ini aku bertemu gadis cantik yang makan es krim dengan tidak anggun sepertimu.
*****

Kukira aku tak akan pernah melihatmu lagi. Tapi Tuhan berkata lain dan Ia kembali mempertemukan kita.
Aku baru pulang sekolah waktu itu. Karena ada komik favoritku diterbitkan semalam, bergegas kakiku melangkah memasuki toko buku dan tanpa basa-basi, aku mendatangi deretan komik-komik terbaru. Di saat itu, aku bertemu denganmu. Ah, lebih tepatnya aku menemukanmu.
Kau berjalan perlahan sambil mengamati satu per satu judul buku di bagian komik-komik pula. Kurasa kau juga baru pulang sekolah karena kulihat yang melekat pada dirimu saat itu adalah baju putih abu-abu. Jari telunjukmu mengetuk-ngetuk bibirmu yang tipis dengan tempo yang sama. Lalu matamu terbelalak dengan senyum lebar di wajahmu. Tanganmu dengan cepat mengambil satu komik yang aku sendiri tidak tahu apa. Sepertinya kau senang sekali.
Aku tersadar kembali dan mengalihkan perhatianku darimu. Jujur saja, aku sendiri tidak mengerti entah kenapa begitu tertarik melihat dirimu saat itu. Tapi segera kubuang jauh-jauh pikiranku dan mulai memokusan mata pada huruf-huruf yang tertera di setiap buku yang berderet di dalam rak.
Tapi suara brak yang nyaring kembali mengalihkan perhatianku. Sumber suara itu berasal dari kolom rak buku di depanku, tempatmu berada. Dan benar saja, saat aku menengok ke sana, kau sedang gelagapan membereskan buku-buku yang jatuh karenamu, mungkin. Wajahmu sedikit memerah, kurasa kau menanggung rasa malu yang cukup besar. Karena kebaikanku saat itu, aku tanpa pikir panjang ikut memunguti buku-buku yang berserakan.
“Terima kasih,” ucapmu dengan suara yang hampir pecah. Keringat mengucur di dahimu. Kau sepertinya benar-benar gugup, ya, waktu itu.
“Yaaahh, nggak masalah,” jawabku.
Kau hanya tersenyum lalu kembali berkutat pada buku-buku di rak. Tanganmu membawa tas toko buku. Kelihatannya cukup berat. Kau memang membeli banyak buku tapi aku tidak tahu apa saja yang kau beli itu.
“Banyak juga yang kau beli,” komentarku. Kau hanya menggumam kecil. “Ngomong-ngomong, gimana hubungan temanmu itu dengan temanku?”
Akhirnya kau memandangku. Tapi dari kerutan di dahimu, sepertinya kau sendiri bingung.
“Maaf, apa kita saling kenal?” pertanyaan itu membuatku berpikir kalau kau orang yang benar-benar cuek.
“Entah ingatanmu yang rendah atau memang kau nggak punya niat lihat sekitarmu, tapi kita pernah ketemu,” ujarku. Sepertinya saat itu kau kesal dengan perkataanku yang cukup tidak sopan, tapi kau diam saja, hanya menggumam, mempertanyakan sekali lagi. “Di café saat temanmu bertemu dengan temanku. Kau asyik sendiri dengan es krim di depanmu.”
“Oh… kau ada juga di sana, ya. Maaf. Evelin, biasa dipanggil Eve,” kau mengulurkan tangan.
“Ya, nggak masalah. Giovani, panggil saja Gie,” aku menyambut uluran tanganmu.
Dan dari situ lah kita mulai dekat.
*****

Saat kusadari aku telah bercerita cukup panjang, kulirik wajah gadis yang duduk di kursi roda tadi. Matanya tertutup. Pada saat itu juga kekhawatiran menghembus, menggelitik hatiku. Tapi gerakan jarinya yang masih dalam genggamanku, menjauhkan rasa khawatir itu. Tanpa sadar aku menghela napas lega.
Aku beranjak dan mengambil tempat berdiri di depannya, menghalangi cahaya matahari sore menyinari wajahnya yang begitu tenang. Kuelus sekali rambutnya yang kusut lalu mengangkatnya dari kursi roda dan membaringkannya di atas tempat tidur. Semakin hari kurasakan berat badannya semakin berkurang dari seberapa ringannya ia bisa kuangkat. Tubuhnya yang kurus itu kubalut dengan selimut. Sekali lagi aku mengelus rambutnya, kemudian kukecup keningnya dengan lembut.
“Aku pulang, ya, Eve. Aku sayang kamu,” kubisikan kata itu di telinganya meski saat ini ia tidak bisa mendengar – bukan karena tuli, tapi karena ia tidur. Suaraku benar-benar pecah karena sekuat tenaga aku menahan bening-bening air jatuh dari pelupuk mata.
Pelan-pelan aku menutup pintu kamarnya setelah lama memandangi tubuh kecil yang tak berdaya itu di atas tempat tidur.
*****

“Baby let me in
You are the one, you are the one
Who can make moments last forever
The one that makes the sunshine where ever you go
Why make it harder, than it has to be
Just listen, I’ll give you love
If you’ll give me your heart”

- C21: You Are The One –

Kau ingat lagu ini? Aku yakin tidak karena demensia yang kau derita saat ini. You Are The One milik C21 ini kupakai untuk menyatakan perasaanku padamu.
Saat itu terik mentari menjadi saksi bisu momen terindah dalam hidupku. Aku ditemani dengan gitar dan dukungan sahabatku, menunggumu di gerbang sekolahmu, kemudian menyanyikan lagu itu untukmu sambil berlutut. Entah seberapa merahnya wajahku saat itu karena malu dan sorak sorai penghuni sekolahmu yang juga ingin pulang. Yang pasti saat itu urat maluku sudah kuputus lebih dulu meski tanganku masih gemetar dingin saat memetik gitar untuk mengiringi lagu yang kunyanyikan.
Aku beranikan diri untuk melirik ke arahmu. Wajahmu tak kalah merah dengan wajahku. Bahkan kau salah tingkah, kaku, tidak tahu apa yang ingin kau lakukan. Temanmu yang pada akhirnya menjadi kekasih sahabatku itu mendorong-dorong tubuhmu ringan dan mendesakmu untuk menjawab pernyataan cintaku. Aku tersenyum saat mata kita bertemu. Bahkan bibirku pun gemetar.
“Eve…,” suaraku bahkan seakan berbisik.
Kau hanya mengangguk kecil dengan senyum yang tak bisa kau hentikan lagi. Dengan malu-malu kau sedikit memalingkan wajah.
“Kalau kau memaksa.”
“Kau suka padaku?” aku ingin memastikan. Kau hanya mengangguk sekali dan kembali menyembunyikan wajah.
Betapa bahagianya aku hanya karena satu anggukan darimu. Aku segera bangun dan berlari ke arahmu kemudian memelukmu. Kau meronta kecil memintaku untuk melepaskanmu karena sorak sorai dan puluhan tepuk tangan yang semakin riuh menggoda kita. Tapi aku tidak bisa melepaskanmu karena bahagia. Agar kutunjukkan pada orang-orang itu bahwa kau sekarang menjadi milikku.
*****

Hari-hari yang kulalui bersamamu begitu indah. Kau adalah warna dalam hitam putih kehidupanku. Tapi meski sebahagia apa pun kita, pasti ada konflik yang mendera dalam suatu hubungan.
Aku paling ingat saat kau berhari-hari tak mau bicara padaku. Kau tak tahu seberapa depresinya aku saat itu. Kuhubungi melalui ponsel pun, kau tak mau mengangkat. Kudatangi ke sekolahmu dan menunggumu di depan gerbang. Kau tak kunjung keluar karena kau lebih memilih jalan lain selain gerbang depan. Hingga akhirnya aku nekat mendatangi rumahmu.
Orang tuamu bilang bahwa kau tidak ingin bertemu denganku. Tapi aku berusaha untuk diijinkan masuk, paling tidak sampai depan kamarmu. Orang tuamu sepertinya iba padaku – ah, mungkin kesal dan lelah melayaniku – hingga akhirnya aku diperbolehkan masuk.
Kuketuk pintu kamarmu yang penuh tempelan stiker anime – Kau memang maniak anime sepertinya.  Tapi tak ada jawaban sama sekali darimu. Padahal aku yakin kau ada di dalam. Aku tahu jika aku hanya mengetuk pintu kamarmu saja, itu akan sia-sia. Jadi kumulai untuk bicara, entah itu akan berhasil atau tidak.
“Eve, kau di dalam, kan?”
Masih tak ada jawaban darimu.
“Kau marah padaku? Kenapa? Apa aku berbuat salah padamu?” seruntun pertanyaan itu kuberikan, tapi kau masih tidak bersuara. Kau benar-benar keras kepala. “Aku sayang kamu, Eve.”
“Bohong!” akhirnya kau angkat bicara meski dengan nada yang tinggi. Samar-samar kudengar suaramu serak.
“Aku nggak pernah bohong padamu.”
“Bohong! Kau selingkuh, kan? Aku lihat kau pergi dengan cewek lain.”
“Kapan?” tanyaku bingung. Bahkan aku sendiri tak ingat pernah pergi dengan wanita lain selain dirimu.
“Minggu lalu di supermarket. Cewek itu manis. Kau pacaran saja dengannya sana, bodoh!”
Kuputar kembali memori dalam otakku. Minggu lalu aku memang pergi ke supermarket. Tapi aku tidak pernah ingat pergi dengan wanita lain. Aku menghela napas panjang. Aku tahu kau telah salah paham.
“Aku nggak mau pacaran dengannya.”
“Sudahlah, aku nggak mau tahu lagi. Gie idiot! Bodoh!”
“Dia adikku,” ujarku di sela cacianmu.
“Hah? Kau mau bohong dengan beralasan murahan seperti itu?”
“Aku nggak bohong. Makanya, buka dulu pintu kamarmu ini. Aku ingin ketemu kamu,” bujukku.
Pada akhirnya kau membukakan pintu kamarmu. Wajahmu benar-benar berantakan karena air mata. Benar dugaanku, kau menangis. Aku segera saja memeluk tubuh mungilmu itu. Sekali lagi kau meledakan tangisanmu. Sebisa mungkin aku membujukmu untuk berhenti menangis dengan mengelus-elus kepalamu lembut.
Emosimu mulai stabil kembali. Kulepaskan kau dari rangkulan. Hidungmu benar-benar merah. Aku menepuk kepalamu ringan lalu tersenyum.
“Wanita yang kau lihat itu bukan selingkuhanku. Dia benar-benar adikku,” jelasku kemudian merogoh kantong celana untuk mengambi ponsel. Kutunjukan fotoku berdua dengan adik manisku itu. “Lihat. Kalau dilihat baik-baik aku dan dia mirip, kan? Mana mungkin aku dan dia pacaran, kan?”
Kau menoleh padaku. Matamu menelisik mencari pembenaran atas kalimatku dan kurasa kau mendapatkannya. Kau kembali memelukku erat. “Aku sayang kamu,” sepenggal kalimat itu keluar dari mulutmu.
Kuingat-ingat lagi, itu pertengkaran kita yang paling konyol. Kau salah paham hingga membuatku depresi. Aku selalu tertawa setiap kali mengingat hari itu.
*****

Tubuh gadis itu kini terbaring di tempat tidur. Bahkan untuk duduk di kursi roda pun ia tak punya tenaga lagi. Wajahnya semakin hari semakin pucat dan tirus. Tubuhnya benar-benar tak terawat. Kulit yang dulunya begitu mulus kini terasa kasar.
Aku duduk di sampingnya sambil terus menggenggam tangannya yang semakin hari semakin kecil. Suara indah personil C21 masih melantun melaui mp3 player yang kuletakan di samping telinganya. Agar ia ingat kenangan indah itu, agar ia mengingatku.

“I’m a circle incomplete
I’m a heart that barely beats
All the memory stay forever like tattoos
I’m a star without a sky
I’m hello with no goodbye
I’m the dreams we had that never will come true
That’s me with no you”

         - Bowling For Soup: Me with no you -

Playlist memutar lagu selanjutnya, membuatku sadar bahwa saat ini aku benar-benar rapuh. Satu-satunya penyemangatku adalah dia yang tak kalah rapuhnya dariku. Kupandangi wajah gadis di sampingku sembari kuelus-elus rambut kusamnya dengan lembut. Berkali-kali aku mengecup keningnya ringan. Tanpa sadar air mataku jatuh mengenai pipinya. Memoriku kembali ke masa itu.
*****

Seburuk-buruknya masalah yang mendera kita, berita tentang penyakitmu yang paling buruk.
Awalnya kau menunjukkan perubahan sikap. Kau yang selama ini ceria bagai matahari itu tiba-tiba saja murung seakan ada sesuatu yang menutupi cahayamu. Kau lebih senang menyendiri daripada berkumpul dengan teman-temanmu. Bahkan denganku pun kau tak ingin bertemu. Kau lebih sering menentang kedua orang tuamu. Padahal aku tahu kau adalah anak baik yang selalu membanggakan orang tuamu di setiap percakapan yang kita buat.
Kadang kau berteriak sendiri, menyudut di ujung dinding. Setiap kali ditanya, kau hanya kembali mengeluarkan lengkinganmu sambil menunjuk pada tempat yang tak ada apa-apanya. Tatapan matamu yang membelalak itu seakan-akan kau takut pada sesuatu. Tapi apa? Kau sendiri tak bicara bahkan padaku.
Tapi sikap itu hanya kadang-kadang saja kau tunjukan. Psikismu seakan sedang labil. Entah ada masalah apa yang menimpamu, kau pun tak bicara apa pun. Kutanya temanmu, kau sama sekali tak punya masalah yang bisa membuatmu begitu labil di sekolah. Mereka bilang kau berubah sikap tanpa alasan.
Orang tuamu kadang-kadang membawamu ke psikolog. Tapi tetap saja tak ada hasil karena kau tak bicara. Bahkan kau bilang bahwa kau tak pernah bersikap seperti itu.
Belum selesai dengan masalah psikis-mu yang mulai hancur itu, kau semakin hari semakin ceroboh saja. Tidak ada batu, tidak ada sesuatu yang bisa membuatmu hilang keseimbangan, kau jatuh begitu saja.
Lalu suatu hari aku sedang bercanda denganmu. Aku mengambil topi yang kau pakai dengan usil dan menjauhkan darimu. Kau berusaha menggapainya, tapi tak bisa. Melihat pipimu yang mulai menggembung, aku tahu kau kesal. Jadi kubiarkan kau agar bisa mengambilnya. Tapi kulihat tanganmu tak kunjung mengambil topimu. Kau seperti sengaja menggerakkan tanganmu ke kiri atau ke kanan topi.
“Jangan bercanda, Eve…,” ujarku. Tapi wajahmu tak menunjukkan bahwa kau sedang bercanda.
“Aku… bukan sedang bercanda, Gie. Kenapa…” kau sendiri heran dan masih berusaha mengambil topi di tanganku yang berada di depanmu.
Seandainya itu hanya bercanda, aku pasti akan tertawa lebar. Tapi kerutan di dahimu yang dalam dan rasa takut yang tergambar jelas di wajahmu itu membuktikan bahwa kau tidak sedang bercanda. Lagipula kau bukan aktor yang baik untuk berbohong.
Aku menyerahkan topi itu padamu. Tanganmu gemetar dahsyat. Aku segera merengkuhnya dan menggenggam tanganmu dengan erat. Aku bisa merasakan ketakutanmu saat itu. Kau menangis dalam diam, dalam pelukanku.
*****

Ataksia. Begitu dokter bilang. Penyakit yang menyerang sistem syaraf hingga keseimbanganmu semakin berkurang. Penyakit berbahaya yang banyak merenggut nyawa orang. Mendengar kau mengidap penyakit itu, aku seakan dipukul dengan ribuan ton besi. Tapi aku tahu, bahwa kau lebih menderita daripada aku. Kau yang menanggung semua kesakitan itu.
Tapi pada akhirnya, ataksia bukan masalah utamamu. Semua diketahui saat kau mengalami demensia yang cepat. Demensia merupakan bahasa kedokteran untuk daya ingatan yang turun. Bahkan kau bertanya padaku, “Kau siapa?”
Kau tahu? Betapa sakitnya hatiku ketika tahu kau begitu mudahnya melupakan aku. Betapa hancurnya aku saat pertanyaan itu meluncur dari mulutmu. Betapa seringnya aku dijatuhkan dalam jurang yang dalam karena tatapan matamu yang merasa asing padaku. Tapi seberapa pun sakitnya aku, kau masih lebih sakit. Melupakan orang yang kau cintai adalah hal yang paling menyakitkan meski kau sendiri tak merasakannya, aku tahu itu. Jadi aku berusaha untuk bangkit  dan tetap tersenyum untuk menjadi penopangmu meski kau tak kenal padaku lagi.
Creutzfeldt-Jakob, nama penyakitmu yang sebenarnya. Perubahan sikap, halusinasi, dan ataksia hanya awal dari penyakit mematikan yang kau derita. Penyakit yang disebabkan oleh prion;  penyebab penyakit yang hanya terdiri dari protein yang menyerang sistem syaraf pusat. Dokter bilang penyakit ini jarang sekali ditemukan bahkan perbandingannya 1:1000.000 dan dulu hanya menjangkiti orang tua. Tapi sekarang beda. Penyakit ini juga bisa menyerang anak muda sepertimu.
Tapi dari jutaan manusia itu, kenapa harus kau yang menderita karena penyakit ini. Kenapa harus kau yang merasakan sakit. Orang bilang Tuhan memberikan cobaan sesuai dengan kemampuan mereka untuk mengatasinya. Lalu apa kau cukup tangguh untuk melawan penyakitmu? Apa kau sanggup menanggungnya dengan tubuh mungilmu? Seandainya aku bisa, aku ingin sekali menggantikanmu.
*****

Kali ini air mataku benar-benar tak terbendung. Memutar memori pada hari-hari menyakitkan dan sepi itu membuatku menjadi laki-laki tak berdaya. Aku semakin erat menggenggam tangannya, semakin sering mengelus rambutnya dan berkali-kali membisikannya kata cinta, berharap ia bangun dengan hal itu.
Dokter bilang dia hanya bisa bertahan empat bulan. Tapi satu setengah tahun sudah berlalu dan jiwanya masih menyangkut pada raganya. Dokter itu salah dan kurasa Tuhan memang memberikan cobaan pada orang yang tepat. Meski dengan tubuh kecilnya itu, ia bisa bertahan selama ini. Maka dari itu, aku menunggu keajaiban saat ia membuka mata dan berkata, “Aku sayang kamu, Gie.”
“Eve, bangunlah.  Ayo kita ke taman bermain lagi. Aku janji nggak akan mengajakmu ke rumah hantu lagi. Aku tahu, kau nggak suka,” bisikku dalam isak tangis. “Eve…”
Kurasakan jemarinya bergerak menggenggam tanganku. Aku melirik melihat wajahnya. Napasnya terdengar berat dan pendek. Aku berharap ia segera membuka mata.
“Eve… Eve…. Eve, bangun, Eve…”
Pada akhirnya semakin lama napasnya semakin ringan hingga kurasakan tak ada udara yang keluar dari paru-parunya. Tangannya yang menggenggam tanganku perlahan mulai lepas dan lunglai. Kulihat setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya tapi sebuah senyum kecil terpampang di wajahnya.  Ia tidur dan tak mungkin untuk membuka mata lagi.
Air mataku semakin tak terbendung.  Aku masih menggenggam tangannya yang tanpa denyut nadi itu dengan erat. Aku diam, hanya tenggelam daam kesedihanku. Kali ini aku benar-benar jatuh karena satu sayapku telah lenyap.
Eve, apa kau begitu menderitanya hingga memilih untuk meninggalkanku sendirian di sini? Apa kau sekarang bahagia? Kurasa ya dari senyum yang tersungging di wajahmu untuk terakhir kalinya. Kalau memang begitu, aku merelakanmu. Selamat tinggal, Eve. I always love you until I die.
*****

- Epilog -
Aku merasa asing. Bahkan dengan orang di sekitarku pun aku tak kenal. Mereka bilang aku hilang ingatan karena penyakit yang kuidap. Penyakit itu membuat daya ingatku semakin lama semakin menurun hingga aku melupakan segalanya. Entah mereka bohong atau tidak, tapi mereka merawatku dengan penuh kasih sayang.
Lalu lambat laun tempatku semakin berubah tak nyata. Aku jatuh dalam halusinasiku semakin dalam hingga pada akhirnya aku hanya diam saja menerima dunia halusinasi itu. Bahkan aku tak mengerti mana yang nyata dan mana ilusiku. Tapi satu hal yang kutahu, suara yang selalu mendongengkanku tentang masa lalu adalah sesuatu yang paling nyata di duniaku.
Suara laki-laki itu begitu indah saat menceritakan masa lalunya bersamaku. Kadang terdengar begitu senang tapi kadang aku bisa merasakan kesedihannya dari suara yang kadang berubah lirih.
Lalu pada saat akhirnya aku sama sekali tak bisa bergerak dari tempat tidur, aku mendengar suara tangisnya. Lirih seakan-akan jika tidak kuraih, ia akan hancur. Jadi kuusahakan menggenggam tangannya. Aku jatuh cinta padanya di akhir hidupku. Mungkin untuk kedua kalinya. Kuharap ia tidak akan hancur karena aku telah meraih tangannya, berusaha membuatnya tetap berdiri tegap.
Kuucapkan untuk terakhirnya meski kau tak mendengar. “Aku sayang kamu…, Gie.”

“Goodbye sun shine
Take care of yourself
I have to go, I have to go
And leave you alone
But always know, always know
That I love you so”

         - Avril Lavigne: Goodbye -

Saksi Bisu

Posted by adena riskivia trinanda at 3:20 AM 0 comments
oke, gue post lagi cerita bikinan kakak gue yah. yuks marih~

Saksi Bisu
Oleh Firdausi R.

Kamar kecil ini dikelilingi garis kuning polisi yang membatasi ruang lingkup kamar dengan ruang di balik pintu. Cahaya blitz menyeruak ke seluruh ruangan; entah itu dari para wartawan yang sedang memburu berita di luar area garis kuning atau tim forensik yang menyelidiki kasus ini. Mereka tenggelam dalam kesibukan masing-masing, memotret TKP untuk dijadikan barang bukti penyelidikan. Beberapa pria berseragam coklat berkerumun memandangi lantai yang bersimbah darah kering. Mereka berdebat mengeluarkan pemikiran masing-masing tentang apa yang telah terjadi di ruang kecil ini.
*****

Beberapa saat sebelumnya, tergeletak jasad seorang wanita remaja di atas darah yang menodai keramik putih itu. Wanita remaja dengan wajah tirus seakan-akan kurang gizi. Kematiannya diduga bunuh diri akibat depresi dan itu benar karena aku tahu semua tentang wanita itu.
Aku melihat dengan jelas saat ia meregang nyawa. Ia masuk ke kamar dengan mendobrak pintu begitu kasar. Suatu emosi yang besar mendorongnya untuk berlaku kasar. Air matanya menetes, ia menangis sesegukan sambil terus mencoba menghubungi seseorang melalui ponselnya. Tapi kurasa tak ada jawaban di ujung sana karena kulihat ia terus mengumpat kesal. Tangan kanannya mengelus-elus perutnya yang terus membuncit sejak beberapa bulan lalu, aku lupa kapan tepatnya. Semakin ia mengelus perutnya, semakin ia mengerutkan dahinya lebih dalam, dan semakin parah sesegukannya.
Setelah lama menunduk serta putus asa karena seseorang di seberang sana tidak mengangkat teleponnya, ia mulai mendongakkan kepalanya, melemparkan pandangannya ke seluruh ruangan. Seakan dapat pencerahan setelah melihat tempat tidur yang ia duduki, ia tersenyum, tetapi kulihat begitu getir. Kulihat ia mulai berdiri di atas tempat tidurnya yang empuk. Setelah mengambil napas yang dalam, ia meloncat-loncat di atas tempat tidur. Gaya pegas dan gravitasi mempermainkannya. Ia melayang semakin tinggi dan semakin tinggi.  Pada akhirnya, dengan sengaja ia menjatuhkan diri ke lantai tanpa menggunakan daya keseimbangannya. Ia sengaja menjatuhkan diri dengan menghentak duduk di lantai.
Ia tidak berteriak, tapi wajahnya menunjukkan bahwa ia benar-benar kesakitan, meringis, memegangi pinggangnya agar tidak menggeliat lebih dari itu. Darah mulai mengalir dari selangkangannya. Kulihat ia berkeringat dingin, napasnya mulai tidak teratur. Semakin deras saja cairan merah itu merembes, membuatnya semakin tak berdaya. Ia tidak berteriak, mungkin sengaja. Aku pun hanya bisa diam saja tanpa berbuat dan berkata apa pun. Tubuhnya lunglai, jatuh di atas keramik dingin. Semakin lama napasnya semakin lemah kemudian senyap. Matanya sesaat memandangku sebelum benar-benar tertutup. Dan ia tersenyum ambigu padaku sebelum malaikat kematian mengambil nyawanya.
*****

Salah satu pria berseragam coklat itu mulai mengalihkan pandangannya. Ia memandangku yang berada di sudut lemari dengan berkacak pinggang pada tubuhnya yang tidak kurus tapi tidak juga gemuk, namun tegap itu. Pandangan matanya menelisik. Ia terkekeh seakan menghina. Senyum mengejeknya itu membuat wajahnya terlihat bulat dengan rambut plontos yang ia miliki. Ia menepuk punggung temannya yang masih menyelidiki TKP, membuat perhatian temannya itu teralihkan.
“Hei, hei! Lihat itu.  Mengerikan, bukan?  Lusuh sekali,” kalimat hinaannya itu tertuju padaku. Jelas sekali karena telunjuknya sedang menunjuk ke arahku. Aku hanya diam tidak mungkin bicara. Temannya itu memandangnya kesal.
“Bekerjalah yang benar. Jangan menunjuk-nunjuk barang orang seenaknya sendiri. Mungkin itu boneka kesayangan korban,” tegurnya lalu kembali pada penyelidikannya.
Pria plontos itu hanya terkekeh seperti tadi dengan nada hinaan. Sekali lagi ia memandang ke arahku dan tersenyum. Lalu ia juga kembali ikut dalam perdebatan para polisi.
Benar kata temannya tadi. Meski aku lusuh dan tak terawat, dulu aku bersih dan cantik. Aku boneka kesayangan gadis yang sudah kehilangan lilin hidupnya itu. Dan aku tahu semua kehidupan gadis itu. Mata hitam yang bulat mengkilat milikku ini telah merekam kehidupan remaja yang telah tewas itu.
*****

Dulu sekali, saat kurasa umurnya empat tahun, ia memelukku begitu lembut yang masih terpajang di lemari penjualan. Ia merengek-rengek kepada ibunya untuk dibelikan boneka yang menyerupai anak perempuan, aku. Ibunya dengan terpaksa merogoh kocek agar anaknya tidak menangis lagi. Ia sedikit kesal, tapi melihat senyum anaknya yang begitu lebar terpampang, kekesalan itu menguap dan berganti rasa maklum.
Setiap hari Lila, begitu nama gadis tersebut, menyisir rambutku yang hitam kemerahan dengan senyum polosnya. Selalu membawaku kemana-mana. Dan ia hampir setiap hari mengajakku bermain dalam drama ibu-ibuan favoritnya. Lakonku sebagai anak dan dia ibuku. Begitu terus hingga akhirnya ia beranjak sebelas tahun.
Gadis itu semakin dewasa. Satu lapis kepolosannya telah lenyap. Ia tidak lagi memerankan peran ibu dan aku bukan lagi anaknya. Aku hanya boneka kesayangannya yang patut dipajang di samping tempat tidurnya. Tidak pernah lagi tangan kecilnya menyentuh rambutku, merawatku sedemikian rupa. Kini fungsiku berubah. Aku menjadi tong sampah hatinya.
Dia gadis yang mulai beranjak remaja. Setiap hari dia pulang sekolah, ia memandangku lalu meletakkanku di hadapannya. Setiap hari ia bercerita; tentang teman-temannya, tentang guru, dan tentang orang tuanya. Juga tentang kegembiraannya, kekesalannya, serta kesedihannya. Aku tak pernah bosan mendengarnya bicara karena aku juga tidak punya hak untuk menolak mendengarkan gadis itu bicara. ‘Toh aku hanya boneka yang tak bisa bergerak dan berkata-kata.
Semakin hari yang dibicarakannya selalu sama, tentang seorang pemuda yang kutahu namanya Erik. Kadang ia bercerita dengan kesal, tapi ada sedikit kegembiraan tersirat di wajahnya yang memerah saat menceritakan hal itu. Cinta, seperti itu manusia menyebutnya. Gadis itu mulai belajar satu perasaan yang baru yang belum pernah ia rasakan. Satu bibit mulai tumbuh di hatinya.
“Susan,” begitu dia memanggilku. “Kau tahu, nggak? Erik itu menyebalkan! Masa dia mengejekku dengan sebutan rambut mie cuma gara-gara rambut keriting? Padahal ‘kan rambutku indah seperti Susan.”
Begitu dia sering bercerita. Umurnya baru dua belas saat itu. Satu lapis kepolosan lagi telah terbuka, kini berganti dengan kedewasaan. Dunianya tidak sesempit yang dulu. Ia semakin membuka pintu, berjalan-jalan dan menemukan suatu perasaan yang baru. Tapi ia belum sadar. Hingga akhirnya umurnya beranjak tiga belas. Ia tahu apa nama bunga yang baru bermekaran mengisi hatinya.
Ia merebahkan diri di atas kasur. Saat menoleh, ia menemukanku yang terduduk di sudut tempat tidur di samping bantal. Ia mengambilku dan mengangkatku tinggi-tinggi, memandangku seakan-akan ingin menemukan kata-kata yang tepat sebelum bicara. Lalu ia menarikku mendekati wajahnya.
“Erik…. Begitu-begitu ternyata dia orang yang baik. Tadi siang dia membantuku membersihkan toilet karena datang terlambat,” ujarnya. Kulihat wajahnya bersemu merah. “Apa, ya? Aku merasa senang sekali. Aku jatuh cinta, ya,” sirkulasi darahnya semakin berpusat di pipinya, merah sekali. “Gimana, dong, ini Susan. Aku bisa mati, nih, kalau berhadapan dengannya,” lanjutnya bicara dan memelukku erat-erat. Aku tahu suhu tubuhnya meningkat karena tekanan darahnya yang semakin kuat.
Umur lima belas, ia tidak lagi bicara denganku dan aku tersingkir, mendapatkan tempat di atas lemari bukunya. Meski begitu aku masih bisa mengamati apa yang ia lakukan. Ia semakin beranjak dewasa. Mulai memakai make up, dan bersolek ‘bak seorang gadis kota. Bukan lagi boneka yang ia pegang, tapi ponsel. Tangannya tak pernah berhenti mengetik papan tombol ponsel miliknya. Kadang ia berbicara melalui kotak kecil itu. Dan jika suaranya melembut, itu berarti telepon dari pria bernama Erik.
Yang kutahu, sejak enam bulan yang lalu akhirnya ia berhasil mendapatkan Erik. Saat itu ia masih malu-malu dan kaku bicara pada laki-laki itu melalui ponsel. Tapi sekarang tidak. Ia bicara lebih santai, sudah terbiasa dengan suasana itu. Tapi beberapa hal tidak berubah darinya, yaitu senyuman lembutnya serta wajah semunya saat bicara dengan laki-laki itu diujung telepon.
*****

Umurnya tujuh belas tahun ini. Aku semakin diabaikan olehnya, masih terbengkalai di atas lemari dengan debu yang menumpuk di atas rambut yang dulu begitu ia puji-puji. Ia menapaki jenjang kedewasaan. Kepolosannya kini sudah menghilang dibalik realita yang terus ia konsumsi. Kini ia menjadi gadis pesolek yang tak akan keluar rumah tanpa aksesori dan make up. Dia sudah berubah. Berubah karena lingkungan dan pergaulan, juga oleh laki-laki bernama Erik yang berhasil semakin memekarkan bunga dalam sela jantungnya.
Hingga akhirnya hari itu datang, akar dari semua masalah yang telah terjadi. Ayah dan ibu Lila pergi ke luar kota membanting tulang,  mencari biaya sekolahnya dengan bekerja keras. Lila anak tunggal, hingga ia hanya sendirian di rumah yang begitu luas itu jika tidak ada orang tuanya. Kulihat ia masuk ke kamar tidak sendirian,  tapi dengan seorang laki-laki asing yang tak kukenal. Tapi melihat wajah bahagianya yang bersemu itu, aku yakin laki-laki itu adalah Erik.
Erik bukan laki-laki jelek secara fisik. Ia tampan juga tinggi dengan tubuh kurus berisi. Penampilannya menyerupai anak band jaman sekarang. Senyumnya mematikan. Tak heran jika Lila jatuh cinta padanya. Kulihat matanya yang begitu polos memandang Lila, ia juga tulus mencintai gadis itu.
Mereka berdua duduk di atas tempat tidur sambil bersenda gurau, seakan-akan dunia milik mereka berdua. Aku hanyalah penonton di balik layar. Hingga akhirnya mereka saling diam berbalas pandang, seakan bertelepati menyatakan perasaan masing-masing. Keduanya bersemu merah.
“Lila, aku sayang kamu.”
“Aku juga, Erik. Aku sayang kamu,” balasnya dengan senyuman yang meluruhkan tiang iman Erik.
Mereka lalu saling menautkan bibir. Didorong oleh setan, nafsunya terus bergejolak hingga kecupan itu berubah liar. Tangan Erik mulai menggerayangi tubuh Lila dengan masih saling menautkan bibir. Semakin liar, Erik mulai menjatuhkan kecupannya ditengkuk Lila. Tangannya tak lagi bermain di pinggang, tapi bertualang menggapai seluruh tubuh hingga akhirnya menuju pada bagian-bagian sensitif. Laki-laki itu menempatkan tangannya di balik baju Lila. Dan gadis itu tak berniat sekali pun untuk berontak. Ia pasrah memejamkan mata, membiarkan tubuhnya dimiliki oleh Erik. Lila menahan rasa kenikmatan yang mulai mencapai ubun-ubun.
“Aku sayang kamu, Lila. Sungguh sayang,” bibir Erik tak berhenti mengucapkan kata rayuan tanpa menghentikan pergerakannya.
Aku melihat segalanya. Juga mendengar desahan-desahan nafsu yang mereka keluarkan. Tanpa mereka tahu setan telah berhasil membimbing mereka ke jalan yang ia inginkan.
*****

Dua bulan setelah itu, Lila sering merasa tak enak badan. Aku sering melihatnya pulang lebih cepat dengan wajah yang pucat. Baru sebentar ia berebah, perutnya bergejolak ingin mengeluarkan isi di dalamnya. Kulihat kekhawatiran di wajahnya. Ia merogoh tas, mengeluarkan sebuah alat yang dibelinya di apotek. Kurasa itu tes urin.
Ia keluar kamar membawa alat itu. Tak lama ia kembali. Wajahnya depresi, lebih dari sebelumnya. Matanya berkaca-kaca. Ia menahannya agar tak keluar sambil mencengkram sebagian rambutnya. Lalu ia merogoh ponsel di dalam kantong kecil tasnya. Ia mengetik dua belas digit nomor yang ia hapal betul sembari duduk di ujung tempat tidurnya.
“Halo,” seseorang di seberang sana menjawab. Aku bisa dengar karena Lila sengaja me-load speaker ponselnya.
“Erik…,” suaranya begitu lirih hingga terdengar pecah.
“Kenapa, sayang? Kau ada masalah?” suara rendah dan berat di ujung sana terdengar khawatir.
“Erik… Aku hamil…,” kali ini Lila tidak berhasil membendung air matanya. Saat ini wajahnya sudah dibanjiri oleh linangannya.
“… Jangan bercanda, sayang!”
“Aku nggak bercanda! Bagaimana ini, Erik? Aku takut… benar-benar takut,” air matanya semakin membanjiri wajahnya hingga mukus pun mulai memenuhi rongga hidungnya. Sesaat tak ada sahutan di ujung sana.
“Tenang, sayang. Aku akan bertanggung jawab. Tenanglah. Tapi untuk beberapa saat ini mohon jangan temui aku. Aku ada urusan sebentar.”
“Kau tak bohong, kan?”
“Nggak. Aku janji. Aku akan menikahimu.”
“Aku pegang janjimu. I love you, dear,” seulas senyum harapan terpampang di bibir Lila.
I love you.
Telepon kemudian begitu saja diputuskan.
*****

Dengan keberanian yang ada, Lila bicara jujur pada orang tuanya. Aku memang tidak melihat saat ia bicara dengan nada takut-takut kepada kedua orangnya. Tapi aku bisa mendengar suara teriakan amarah dari ayah Lila yang sudah mulai menapaki masa senjanya. Dan ibu Lila, meski ia juga menyimpan amarah, ia lebih memilih untuk memadamkan api kemarahan suaminya. Lila hanya diam dan meminta maaf dan bilang bahwa laki-laki yang menghamilinya itu akan segera bertanggung jawab.
****

Semenjak itu, ia mengundurkan diri dari sekolah karena tidak memungkinkan baginya untuk menjalani hari-hari seperti biasa dengan perut yang terus membuncit. Ia juga tidak pernah lagi berhubungan dengan Erik. Meski laki-laki itu bilang padanya akan bertanggung jawab, tapi tak sekali pun batang hidungnya muncul di hadapan Lila. Bahkan ia tak menampakkan suaranya meski hanya melalui ponsel.
Setiap hari gadis yang dulu selalu memanjakanku itu memandangi layar ponselnya, lalu kadang ia menekan dua belas digit nomor yang sama dan mencoba menghubunginya. Tapi nihil. Tak ada yang mengangkat, hingga akhir-akhir ini jika nomor itu dihubungi, yang menjawab adalah suara perempuan yang selalu bicara sama: nomor ini sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi.
Terhitung empat bulan semenjak kehamilannya diketahui. Perutnya benar-benar membuncit. Tapi laki-laki yang mengumbar janji itu tak pernah datang,  bahkan dicari ke sekolah pun ia tidak ada. Katanya sudah lama ia pindah ke luar negeri.
Wajah gadis itu semakin tirus. Kurasa ia sudah lama tidak makan dengan teratur. Pandangan matanya begitu kosong. Rambutnya pun entah sudah berapa lama tak tersisir rapi. Padahal dulu ia begitu pesolek, berusaha tampil lebih cantik daripada siapa pun. Tapi keadaan saat ini membuatnya seperti kehilangan akal sehat.
Di hari kelima setelah empat bulan berjalan, orang tuanya yang sedang pergi ke luar kota untuk bekerja, meneleponnya, menagih janji laki-laki yang sudah menanam bibit di perutnya. Tapi ketika mendengar bahwa laki-laki itu menghilang tanpa jejak, meninggalkan putri mereka dengan keadaan berbadan dua, membuat mereka marah besar, terutama ayahnya. Ayahnya menyebutnya anak yang tak tahu diri dan dengan kalap lelaki tua itu menyebut puteri semata wayangnya itu wanita jalang.
Mendengar perkataan itu, kestabilan jiwa Lila yang sudah goyah semakin bertambah labil. Ia mendobrak pintu kamar, membuang diri di atas tempat tidur, dan berusaha terus menelepon nomor yang selama ini tak terhubung lagi.
Sejurus kemudian, itulah yang terjadi. Tubuh gadis itu lunglai di samping tempat tidur dengan darah yang mengalir melalui selangkangan. Sebelum benar-benar menutup matanya, ia memandang ke arahku dengan senyum ambigu seakan-akan memorinya kembali ke masa lalu dan dari mulutnya terucap kata maaf tanpa suara, hanya gerak bibirnya yang menjelaskan hal itu.
*****

Dua hari kemudian baru lah orang tuanya pulang. Mereka terkejut dan tak percaya ketika menemukan anaknya dengan tubuh kaku dan tak bernyawa tergeletak di atas keramik putih. Darah yang keluar sudah membeku dengan sempurna.  Bau busuk sudah menyebar. Begitu pula bau darah yang anyir begitu menyengat, menyeruak ke seluruh ruangan.
Ibunya menangis meraung-raung. Suaminya pucat pasi, merasa bersalah dengan kalimat terakhir yang ia ucapkan pada puterinya, jalang. Begitulah akhir cerita dari gadis polos yang berperan sebagai ibuku itu.
Manusia itu mudah berubah seiring aliran waktu.  Satu demi satu kepolosan dari hati setiap insan akan terlepas akibat realita dan pergaulan. Imajinasi anak-anak berubah menjadi nafsu yang tak terbendung, jika tanpa pertahanan tiang yang kuat. Lalu nafsu membawa mereka pada penyesalan. Tanpa pondasi, penyesalan membawa mereka menuju jalan yang lebih sesat. Begitulah manusia. Aku adalah saksi bisu kehidupan salah satu ciptaan Tuhan yang tidak sempurna karena kesempurnaan yang dimilikinya itu.
*****

Wednesday, December 21, 2011

suppanat jittaleela in borobudur

Posted by adena riskivia trinanda at 9:32 PM 0 comments
mau nge share foto Tina dan keluarga waktu mereka berwisata ke Indonesia dan pergi ke Borobudur. Oke, enjoy it! :)
ciyeh kayak anak cina yang tersesat ._. eh tapi dia orang thailand lohhh





plis jangan bikin gue melting :3

anjirrrrrrrrrrrrrr imut bangetssssss

eciyeh keluarganya~




udah yah ngeshare fotonya. cuman dapat 4 sih soalnya -_-
bubayyyyyy

suppanat jittaleela

Posted by adena riskivia trinanda at 2:42 AM 0 comments
nah, yg kaya gue bilang, gue bakal nge share tentang tina, pemain film "Yes or No" yang jadi Kim nya. oke capcusssss....

Tina 'Suppanat Jittaleela'
Tina 'Suppanat Jittaleela'
Profile (taken from the topic Tina @ LK)
Name: Tina Jittaleela
DOB: February 12, 1991
Constellation: Aquarius
Gender: Female
Nickname: Tina
Height: 170
University: RUNGSIT University, Chiang Mai University
High School: School Satriwithaya
Birthplace: Bangkok, Thailand
Parents: Piyawan Jittaleela
Brothers and sisters: Nichapa Jittaleela, Podchara Jittaleela, Tatae Jittaleela
Favorite drama: Gossip Girl
Favorite singer: Mark Ronson, Samantha Ronson, Air Quartet
Favorite movie: What Dreams May Come, Toy Story, The Little Green Men
Favorite clothing brand: Marc Jacobs
Present work: 98 FM DJ @ Pynk
Facebook: Tiniiz
Twitter: http://twitter.com/tiniiz
Fanpage: http://www.facebook.com/TinaSuppanard


 o my god, ini cewek apa cowok siiiii -_-

 
 
yang ini ganteng nya setengah mampus :3

anjir, sumah keren abis....

melting nih

 senyumnya nggak nahan :3






ganteng banget mbaaaaaaaa

oke, segitu aja yah share tentang tina :) entar gue share foto tina sama aom . Ada juga ntar gue share foto Tina di borobudur, indonesia.
 

THIS IS THE STORY OF ME :) Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea