Saturday, August 20, 2011

the secret of the story

Posted by adena riskivia trinanda at 9:32 AM 0 comments
Mataku mulai terbuka. Yang awalnya hanya terlihat kegelapan, sekarang samar samar aku melihat dunia yang lebih berwarna, dunia yang hidup.

Kulihat ruangan itu, dinding putih, atap putih, ranjang putih, infus, makanan yang tak dimakan, bau obat, tempat tidur keras, semuanyaaa.

"You wake up." Kata seorang wanita memelukku. "What happened with you? You like different." Katanya tampak khawatir.

"Am I different? Wait, who are you? Am I know you?" Kataku kebingungan.

"What? You don't remember me? How can? How abot our memories?" Kata wanita tadi.

"I really really forget. Can you stop to talk about this?" Bentakku.

"Sorry...." katanya. "Oke, for now, you can stay in my house. You are not safe for now, so you can't stay in your fucking home." Katanya dengan kata kata yang sedikit kasar.

Aku memutar bola mataku, "yayaya. What ever, little fucking girl." Kataku.

"Hey! Don't call me like that! I have a name! My name is Dennise!" Kata wanita yang ternyata bernama Dennise itu.

Aku hanya tersenyum simpul, "I don't care, l-i-t-t-l-e f-u-c-k-i-n-g g-i-r-l." Kataku. Mukanya merah padam, kupikir dia akan meledak saking kesalnya. "Wait, I don't know what's my name."

"Ha! I will tell you if you promise you willnot call me 'little fucking girl'"

"Yaya. So, what is my name, young lady?" Kataku.

"Your name is Patrik Pattison, my Patrik-tik" Katanya sambil tersenyum.

Entah mengapa kepalaku jadi pusing saat mendengar dia memanggilku patrik-tik, seakan kepalaku akan terbakar saking sakitnya. Lalu sebuah kenangan yang terlupakan mulai buram buram teringat.

****

Saat itu aku berdiri di sebuah ruangan yang lumayan besar, bukan! Sebenarnya, sangat besar. Dindingnya dihiasi oleh rak rak buku yang berisi buku buku rumit.

"Hei, little boy, why you look so sad?" Tanya seorang lelaki yang sepertinya sebaya denganku yang saat itu masih berumur 7 tahun.

"I don't know where I am. I dunno how can I go home." Kataku masih sambil jongkok dan menutupi mukaku dengan kedua tanganku.

"I will accompany you. Come on, we will search the way to go home." Katanya sambil menyodorkan tangannya padaku. Aku tak berkata kata lagi. Aku hanya bisa membalas gandengan tangannya.

Sedikit canggung memang. Tapi itu tak bertahan lama. Sampai di sebuah ruangan yang isinya hanya alat musik saja.

"Hey there is a piano. I can play it." Kataku.

"Hurry up. I wanna see you to play it."

"Ehem. Okay." Kataku. Lalu setelah itu aku memainkan sebuah lagu yang merupakan salah satu karya mozart, Kindersinfonie-simponi anak anak- dengan sangat lancar dan bahkan sempurna. Sebuah hal yang luar biasa bisa memainan lagu mozart dengan sempurna diusia 7 tahun. Hei, bukan berarti aku menyombongkan diri.

Setelah berhasil memainkannya, anak lelaki tadi bertepuk tangan untukku.

"Amazing. How cool you are." Katanya sambil masih bertepuk tangan.

"Ahaha. Thank you."

Setelah itu kami berjalan jalan lagi dengan tujuan mencari orang tua kami masing masing. Sekarang suana tidak canggung seperti tadi. Lebih banyak tertawa dan bercanda.

Ternyata 2 jam berjalan jalan tidak sia sia. Aku menemukan orang tuaku, dan dia menemukan orang tuanya.

"Look at you, my little girl. You have a friend." Kata ayah anak lelaki tadi. Wait, little girl kata ayahnya tadi?

"What? Is he a girl?" Kataku tak persaya.

"Not he, but she." Kata ibuku membenarkan. Aku terbelalak mendengarnya.

Dia seorang cowok. Maksudku penampilannya sungguh seperti lelaki. Celana panjangnya yang gebor, baju kaos nya yang warna hitam dan dilapisi jaket warna hitam juga. Rambutnya yang pendek. Sepatunya sepatu kets. Semuanya seperti lelaki.

"Like I said, little girl, you must change your style to be like a girl." Kata ayahnya sambil mengacak acak rambut 'putri'nya.

"Hei dad! Stop it!" Katanya sambil menjauhkan kepalanya dari tangan ayahnya. "So, what's your name?" Tanya gadis kecil itu sambil mengulurkan tangannya.

"Patrik. Patrik Pattison." Kataku sambil membalas jabatan tangannya.

"Dennise. Dennise Wahington." Katanya. "Nice to meet you, Patrik-tik" katanya sambil menyeringai.

"What? Patrik-tik?"

"Yep. I'll call you, Patrik-tik" katanya sambil tersenyum.

****

Kepalaku benar benar terasa sangat panas. "Hei, Patrik-tik, are you okay?" Tanya Dennise.

"I... I'm fine." Kataku berbohong. Ingatan yang buram itu sudah melekat di kepalaku. Hanya ingatan itu saja yang masih ada di kepalaku.

"Okay. Let's we go home." Kata Dennise. Lalu kami meninggalkan tempat, dimana aku ditemukan Dennise.

Tak memakan waktu lama, aku sampai di sebuah komplek perumahan yang menurutku tempat orang orang kaya. Dan mobil berhenti di sebuah rumah gaya barat yang sangat sangat luas. Halamannya juga sangat luas. Rumah itu berwarna krim. Ada air mancur di halamannya. Rumah itu 3 lantai. Di sudut kanan halaman, terdapat garasi mobil, bisa terlihat di sana bahwa banyak sekali mobil yang ada. Mungkin 10, ah tidak, mungkin 20, ah bukan bukan, pokoknya banyak gitu ah.

"Leggo." Kata Dennise sambil menarikku.

Lalu Dennise mengantarku ke lantai 2 rumah ini. Aku dipinjamkan sebuah kamar yang sangat luas. Ada tempat tidur yang luas di sana, ruangan pakaian, wc, TV, jendela yang bisa dibuka dan menghubungkan ke beranda, meja komputer dan komputernya, 2 buah lemari buku tanpa isi.

"This is your room." Kata Dennise sambil tersenyum.

"Wow cool." Kataku, dan reflect aku memeluk Dennise. Lama. Setelah tersadar aku langsung menjauhkan diri dari Dennise. "Sorry." Kataku. Wajah Dennise memerah. Dia lalu tersenyum. Senyuman penuh kerinduan. Aku tak paham maksud dari senyumannya itu.

Tak lama, Dennise pergi meninggalkanku sendirian di kamar baruku. Aku jadi teringat kata Dennise bahwa aku belum aman. Aman dari apa? Entahlah. Aku lupa.

Tiba tiba aku seperti mendengar sebuah bisikan tak jelas. Aku langsung mencari cari asal suara. Tetapi percuma, aku takkan pernah dapat menemukannya. Lalu bisikan itu semakin lama semakin jelas. Yang terdengar ditelingaku adalah 'kill. Kiil her. Kill. Kill. Kill. Forget her. Kill her.' Aku langsung menggelengkan kepalaku dan menutup telingaku dengan bantal. Tapi percuma, bisikan itu tetap terdengar. Bahkan sangat teramat jelas. 'Kill her. She hurt you. Kill. Kill with your hands. Kill'

--------

Semalaman aku tidak bisa tidur, jadi mungkin wajar kalau kantung mataku sekarang jadi berlipat-lipat. Semalaman suara kampret itu terus terdengar di telingaku.

"Hei Patrik-tik" kata Dennise setelah melihatku yang turun dari tangga.

"Hei Dennise." Kataku. "Em, Dennise?"

"Em?"

"Kenapa kamu berbeda sama yang dulu?" Tanyaku ragu. Yah dulu dia sangat tomboy sampai tak bisa dibedakan dengan lelaki. Tapi lihat sekarang, dia memakai baju tengtop panjang dan gebor warna hijau dengan celana jins warna hitam. Rambut hitamnya yang bergelombang sekarang sudah sampai pinggulnya. Kalau dulu dia seperti cowok, sekarang dia seperti dewi Venus dari romawi kuno yang sedang berada dalam wujud manusia, ini artinya dia sangat amat teramat cantik.

"What do you mean? Kamu bahkan tak ingat sama sekali.

"I remember when we first meet."

Dennise terdiam. Lalu dia tersenyum sambil berkata, "temukanlah jawabannya sendiri. Ingatlah kembali Patrik," senyumnya terlihat miris.

Aku hanya terdiam terpaku. Bingung hendak membalas apa.

"Let's eat." Kata Dennise.

"Where is your parents?" Tanyaku.

"Yah, you know, my parents are very very very busy." Katanya tanpa senyuman. Dan lagi lagi aku terdiam tak bisa membalas kata katanya.

Suasana canggung, jadi aku mencoba untuk mencairkan suasana. "Em Dennise. What will I do after this?" Tanyaku.

"What do you wanna do?"

"Just.... I dunno. What will you do?"

"School, like another teenager. Come back to the hell fucking place." Katanya. (Wajar yah di luar negeri itu sekolah pake baju bebas)

"Can I come to school? I wanna school." Kataku.

"He? Your school isn't here. Your school is in London, remember it?" Katanya.

Lagi lagi kepalaku terasa panas. Mataku berkunang kunang. Semakin lama semuanya tampak pudar dan menjadi gelap.

****

Saat itu aku berada di sebuah rumah yang aku kenal, itu rumah Dennise.

"Hei, already to lose?" Kataku sambil menyeringai.

"I'll win, you'll lose. Loser." Kata seorang 'gadis' yang sudah berumur 12 tahun itu. Perawakan nya masih sama seperti dulu, masih seperti lelaki.

"Hei, I'm not loser!" Kataku. Lalu kami melanjutkan nermain PlayStation milik Dennise sambil dipenuhi dengan senda gurau.

Bermain membutuhkan waktu 2 jam lebih untuk kami. Ya, kami penggila game. Ha.

"Den," kataku. "I will move to London."

"What? Why? When?" Tanyanya.

"Aku direkomendasikan di sekolah paling hebat di London. Sekolah untuk orang orang yang pintar bermusik. Banyak lulusan sana yang bisa menjadi pemusik dunia." Kataku.

"Oh ya, kau pintar bermain piano." Kata Dennise sambil tersenyum simpul. "When?"

"I think next month."

Dennise terdiam lalu langsung memelukku. Aku spechless. "I will miss you, Patrik-tik"

Aku tak bisa berkata apa apa. Yang ingin kulakukan saat itu adalah membalas pelukannya, aku ingin memeluknya juga, tapi kuurungkan niatku itu.

Tak lama, Dennise melepas pelukannya. Terlihat dari matanya, dia habis menangis. Dan bahuku terasa basah.

"You must to know," kata Dennise. "I love you," katanya blushing.

Aku tidak bisa berifikir apa apa. Aku langusng keluar rumahnya dan pulang ke rumahku. Saat itu aku lari dari kenyataan bahwa aku mencintainya juga.


Sewaktu keberangkatan, aku sangat berharap bahwa Dennise datang. Sejak kejadian 'itu' aku tidak pernah bertemu Dennise lagi, bahkan di sekolah aku selalu menghindarinya dan dia menghindariku.

"We will miss you, my sweety boy." Kata mamah ku.

"I will miss you too, mom," kataku sambil memeluk mamahku.

Itu saat sesi peluk memeluk antara aku, papahku, dan mamahku. Untuk sesaat aku melihat ke arah lain, mencari sesosok gadis yang berperawakan lelaki. Dan samar samar aku melihatnya. Berlari dari jauh.

"Dennise?" Kataku pelan. Semakin lama sosok itu semakin jelas sampai dia berada di depanku.

"Hhhhh.... Kalau.... Hhhhh... Kalau kami udah balik ke sini, hhhhh..... Aku bakal berubah jadi wanita yang sebenarnya. Hhhhhh...." Kata Dennise sambil terengah engah.

Aku tersenyum, "I will waiting." Kataku lalu langsung memeluknya.

*****

"Are you okay?" Kata seorang wanita yang suaranya terdengar familiar olehku.

Kubuka mataku pelan pelan. Samar samar aku melihat Dennise sedang memegang tanganku dan terlihat dari wajahnya bahwa dia sangat khawatir.

"Hei Dennise," kataku sambil tersenyum.

"I'm worry." Kata Dennise.

"I love you," kataku tersenyum lalu wajah Dennise blushing. Dia lalu langsung memelukku.

"Love you too," katanya. "Kau sudah pernah mengatakannya."

"Hah? Kapan?" Tanyaku.

"Kau akan mengingatnya. Puzle puzle tentang kenangan kita semakin lama akan semakin lengkap," katanya tersenyum.

"Kenapa aku bisa ada di rumah sakit sewaktu dulu itu?" Tanyaku.

"Hanya kau yang tau, patrik-tik"

"Where is my parents?" Tanyaku.

"They will come. They from Japannese." Kata Dennise. "I called your parents yesterday."

Lalu setelah itu Dennise keluar, dan suara bisikan itu mulai terdengar, 'kill. Kill. Kill. Kill. Kill. Kill. Kill' hanya itu yang terdengar.

"Arghhhhhhhhhhh! Stop it! Stop! Stop! Stop!" Aku mulai berteriak seperti orang gila.

Tak lama pintu kamar ku sudah terbuka, Dennise masuk ke dalam dengan sangat khawatir, "what happen?"

"I dunno. Aku hanya mendengar suara bisikan." Kataku.

"Bisikan? Bisikan apa?" Tanya Dennise.

Aku tak menjawab. Aku hanya terdiam dan mencoba berfikir. Tak lama Dennise keluar lagi tapi sebelumnya dia mencium keningku.


Sekarang aku bisa melihat suatu tempat yang bukan kamarku. Tempat ini seperti sebuah laboratorium. Komputernya banyak, layar nya banyak juga, ada bermacam macam alat teknologi yang aneh. Di sana ada seorang gadis muda dan seorang lelaki tua. Gadis itu memperhatikan layar dan lelaki tua itu sedang mencoba percobaan barunya.

Eh tunggu, di layar itu ada gambar seperti ruanganku. Hei, apa maksudnya itu?

"Lelaki bodoh! Kamu pasti jadi milikku Patrik! Haha!" Kata gadis itu.

"Liana, stop do this!" Kata lelaki tua.

"Dia yang salah pah! Dia meninggalkanku demi wanita jelek itu!" Kata gadis yang bernama Liana. Lalu dia mengambil earphone nya dan mulai berkata, "kill. Kill her. You don't need her. Kill her, RIGHT NOW!!!!!"

Lalu suara itu mulai berbisik di telingaku. Dan lama kelamaan semua menjadi gelap. Semuanya hitam-----


"Hei Patrik, wake up. This is your mom," kata seorang wanita berumur membisikiku.

Aku lalu membuka mataku, duduk bersandar di ranjang lalu mengucek-ngucek mataku. Kulihat seorang wanita yang mungkin berumur 40an sedang menggenggam tanganku. Apakah mungkin dia ibuku?

"Mom?" Tanyaku.

"Yes," kata wanita itu lalu memelukku.

Kulihat di sebelah mamahku ada ayahku, mungkin.

"Is he dad?" Tanyaku pelan.

"Yes, I'm your dad, my strong boy," kata ayahku sambil memukul lenganku dengan main-main.

Lalu aku teringat kembali akan mimpi ku yang aneh. Tapi jika itu mimpi, itu tampak seperti nyata, sungguh. Apakah itu seperti telepati atau penglihatan indra keenamku? Entahlah. Lagi pula aku lupa wajah gadis dan lelaki tua itu. Bahkan aku lupa nama gadis tadi.

"Kenapa bengong, hun?" Tanya mamahku.

"Hah? Ehehe," kataku.

--------

Pagi ini aku membuka mata dengan sedikit ceria, aku mulai ingat beberapa puzle ingatanku yang lepas. Semakin lama puzle itu semakin terkumpul.

Aku langsung keluar dari kamar dan menuju ke bawah. Ku lihat kedua orang tua ku ada di bawah. Sepertinya mereka tinggal di sini untuk sementara. Dan ada seorang gadis cantik sedang duduk di sofa sambil menonton TV, itu Dennise.

Hari ini Dennise memakai hotpants dan camisol hitam. "Helo beb," kataku sambil menuju kearah Dennise.

"Oh hei," katanya. Aku lalu duduk di sebelahnya sambil merangkul pundaknya. Dia lalu mersandar di bahuku. "Aku takut kalau Liana menyakiti kita lagi, beb. Ingat waktu dia pernah menyakiti kita dulu?"

Kepalaku panas lagi. Pasti akan ada puzle baru yang kudapat. Lalu samar samar ada ingatan ku yang terlupakan sekarang jadi ingat.

****

Musim semi di London. Sudah 2 tahun aku di London. Ini saatnya aku pindah lagi ke Amerika.

"Will you come again to London?" Tanya seorang gadis manis.

"Yes, baby. Of course. I love you, you know that."

"Promise?" Tanyanya.

"Yes," kataku lalu mengecup bibirnya dengan cepat.


Di airport. Aku, dua sahabatku, dan kekasihku sedang peluk pelukan di airport.

"Don't forget me, okay bro?" Kata salah seorang sahabatku yang bernamu Jhon.

"Ofcorse. I love you guys," kataku ke Jhon dan Tomas.

"Don't look another girl in America, okay?" Kata Liana, kekasihku.

"Okay my baby boo." Kataku sambil memeluk nya.

"I will miss you,"

"Me too, hun." Kataku. Lalu aku bertaut bibir di airport dengannya. Setelah itu aku memasuki ruang tunggu dan menunggu pesawat.


Amerika. Terlihat kedua orang tua ku menungguku. Ada sahabat ku juga, Alan. Dan ada seorang gadis yang benar benar cantik. Gadis itu memakai rok selutut dengan baju kaos hitam yang dilapisi kardigan putih. Gadis itu benar benar cantik. Siapa dia? Tapi rasanya aku punya ikatan batin yang kuat dengannya.

"Hei Patrik," kata mamahku langsung memelukku. Ayahku hanya tersenyum ke arahku.

"What's up bro? Ada cewek cantik nggak di London sana?" Kata Alan.

"Hei bro. Banyak banget. Bahkan gue udah punya pacar di sana. Cantiknya gila men." Kataku. Lalu kulihat gadis asing tadi, dia menunduk sedih setelah aku mengatakan aku sudah punya pacar.

"Hei, Patrik-tik." Kata gadis tadi mengangkat kepalanya sambil mencoba tersenyum.

"Dennise? Ini kamu? Rambutmu panjang ya sekarang? Penampilanmu berubah?" Tanyaku.

"Iya, aku kan udah pernah bilang sebelum kamu pergi. Aku akan berubah." Katanya.

"Kamu.... Kamu cantik." Kataku. Dia lalu merona. Sumper duer gila cantik bangets.

"Thanks." Katanya.


2 bulan sudah aku di Amerika. Hubungan ku dengan Liana masih normal, kami masih saling kontak kontak an. Hubunganku dengan Dennise semakin dekat. Bahkan sekarang aku merasakan hal yang tak biasa saat bersama Dennise. Aku sering sesak nafas bila dekat dangannya. Jantungku tak pernah berdetak dengan normal bila kubersamanya, perasaan yang aneh.


Sudah 1 bulan aku lost kontak dengan Liana. Perasaan ku ke Dennise semakin kuat. Aku tau itu perasaan apa, itu adalah perasan asam manis pahit *nano nano* dalam kehidupan, perasaan cinta. Kalau aku bersama dengan Liana, aku tak pernah merasakan perasaan ini. Apakah aku jadian dengan Liana hanya karena memuaskan nafsu dan hasrat ku, atau hanya karena aku kesepian. Entahlah.

Saat ini aku tidak tahu dia sekarang bagaimana, apakah dia setia denganku, apakah dia masih memikirkan aku karena kami sudah tidak saling kontak selama 1 bulan.


Hari itu cuacanya cerah. Matahari seakan sangat bersemangat untuk berbagi kehangatan dari dirinya *artinya harinya panas banget boooo*. Aku sedang berada di sebuah rumah minimalis modern bersama Dennise. Hei, itu rumah ku.

"Den, do you have a boyfriend?" Tanyaku menatapnya dengan serius.

"What? Ahaha. I don't have a boyfriend, you know that." Katanya. Tawanya seakan menggetarkan jiwaku. Senyumnya seakan menjadi pengganti oksigen dalam tubuhku. Betapa beruntungnya aku. Aku bisa satu ruangan dengan seorang duplikat dewi Venus, satu udara, dan satu nafas.

"Hei, kau sangat cantik, apakah kau tau?"

"What? Haha. Jangan gombal deh. Ingat pacarmu di London nunggu." Katanya masih sambil tertawa.

"Aku nggak tau sekarang apakah kami masih bisa dibilang sebagai pasangan kekasih atau bukan. Aku nggak tau apakah dia selingkuh atau tidak. Sepertinya hubungan kami berakhir," kataku.

Lalu dia tersenyum miris, "don't be sad. Aku akan selalu ada untukmu, bro." Katanya.

Lalu aku menatap matanya dengan lembut. Ku tatap bibirnya yang sedikit basah karena habis minum. Dan tanpa sadar, wajahku mendekat dan bibirku dan bibirnya bersentuhan. Lalu Dennise menjauhkan diri dariku.

"What are you doing?" Tanyanya. "Hell! Jangan jadiin aku pelampiasanmu ya! Jerk!"

Lalu dia berdiri dan hendak meninggalkanku. Tetapi aku menahannya. "Aku nggak pernah menganggapmu sebagai pelampiasan, Dennise. I love you, it's true." Kataku.

"Liar! You are a big liar!" Katanya sambil mencoba melepaskan tangannya dariku.

"Oh come on. I tell the truth. Please, believe me." Kataku.

Dia terdiam untuk sesaat. "Okay I believe you," katanya.

Senyumku melebar. "So? Do you love me? Wanna be a special person for my life?" Tanyaku.

Dia tersenyum, "sejak dulu aku udah jatuh cinta sama kamu kok. Ingat saat kita masih 12 taun? Aku menyatakan cinta padamu," katanya sambil nyengir.

Lalu aku mendekapnya erat, sangat erat.


7 hari setelah itu, aku dan Dennise sedang berada di rumahku. Kencan di rumah. Saling tertawa, lalu aku memeluknya dan menciumnya. Saat aku menciumnya, seseorang membuka pintu kamarku.

"Patrik? Who is her!?" Tanya seorang gadis yang suaranya sangat familiar untukku.

"Liana? How can you come to america? How can you know my house?"

"Kau pernah memberitahuku!" Katanya. Lalu Liana menatap Dennise dengan padangan kesal dan jijik, "you are fucking bitch! Go to hell, BITCH! Oh come on, you are JERK! SUCK! ASS HOLE!" Kata Liana memaki maki Dennise.

Refleks dong aku memukul wajah Liana. "Stop to call her like that!" Kataku.

Matanya sekarang basah. Air mata nya keluar. "You still my boyfriend! Kenapa kamu selingkuh, bajingan?" Katanya. Mukanya tampak sangat kesal.

"Kita sudah tidak saling kontak selama 1 tahun! Itu namanya kita sudah putus, Liana!" Kataku juga sangat kesal.

"Hei brengsek, itu hanya kau yang berpikiran seperti itu! Apakah engkau pernah bertanya tentang status hubungan kita yang sekarang kepadaku, nggak ada! EGOIS!" Kata Liana sambil tersenyum merendahkan.

Kepalaku panas. Aku sangat kesal dengan Liana. "GET OUT FROM MY HOUSE!"

"Okay. Good bye, jerk!" Katanya lalu langsung meninggalkanku dan Dennise.


Ternyata Liana pindah ke London. Dia satu sekolah dengan kami. Setiap hari dia selalu mengerjai Dennise dengan obat obat aneh ilmiahnya. Yah dia seorang ilmuan. Ayahnya ilmuan gila. Sampai suatu hari, Liana menuangkan ramuan aneh ke makanan Dennise. Dan akibatnya adalah, Dennise jadi membenciku. Tapi ramuannya segera hilang karena kekuatan cinta kami terlalu besar. Yah, banyak kejadian seperti itu yang diakibatkan oleh Liana.

****

"Hun, are you okay? You look sick." Kata Dennise.

"Emmm yes, I'm okay. I just remember a little memories about me, Liana, and you." Kataku.

Dennise tersenyum dan menenangkanku.


Akhirnya aku terlelap. Dan aku kembali melihat sebuah laboratorium. Laboratorium itu...... Laboratorium itu yang pernah kulihat malam sebelumnya. Apakah aku benar benar bisa telepati? Entahlah.

Dan gadis itu, Liana. Apa yang sedang dia lakukan?

"Haha. Beberapa saat lagi semua akan berjalan sesuai dengan harapanku," kata Liana sambil tersenyum kepada diri sendiri. Lalu dia berbicara lewat earphone nya, "it's time to kill Dennise. Kill her. Kill. Kill. Kill,"

Lalu tiba tiba saja aku terbangun dari tidurku. Tetapi aku tak bisa mengendalikan diriku sendiri. Badanku lalu berdiri dan berjalan menuju dapur. Lalu mengambil pisau. Aku berjalan berjalan berjalan sampai kamar Dennise. Ini semua diluar kuasaku. Dihadapanku sekarang ada Dennise. Aku terus berusaha sekuat tenaga untuk bisa mengendalikan diriku, dan akhirnya aku berhasil mengendalikan diriku. Detik detik terakhir aku ingin membunuh Dennise, aku sudah bisa mengendalikan diriku. Langsung kulepas pisau tadi. Dan Dennise terbangun mendengar suara pisau jatuh.

"Patrik? What are you doing?" Kata Dennise sambil mengucek-ngucek mata.

"A..... Aku nggak tau. Tiba-tiba saja tubuhku diluar kendaliku. Aku mengambil pisau dan hampir membunuhmu." Kata ku.

"What? Seriously?" Tanyanya. Aku mengangguk. Lalu dia melihat pisau yang jatuh di lantai.

"Sebenarnya sudah 2 hari aku mimpi aneh. Bukan, bukan mimpi. Ini tampak nyata, sungguh." Kataku. "Aku melihat sebuah laboratorium. Dan di sana ada seorang gadis, dia adalah Liana. Liana menggunakan earphone nya untuk menghasut pikiranku. Setiap hari dia terus membisikkanku untuk membunuhmu. Dan-----" kata-kataku terputus. Tiba tiba saja kepalaku panas.

"Patrik? Beb?"

Semua lalu tampak hitam.

****

Musim gugur di Amerika. Aku dipanggil ke London oleh sekolah ku yang lama. Katanya aku masih dapat beasiswa, jadi aku segera pergi ke London. Dan sialnya, Liana juga pergi ke London karena direkrut oleh sekolah kami yang dulu. Liana sangat pintar main biola, dia pernah menjadi pemain biola terbaik di Inggris.


Musim semi di Inggris. Aku dipanggil oleh Liana. Katanya ada yang ingin dibicarakan. Lalu aku pergi ke tempatnya.

"Hei, sory ya aku pernah berkata kasar sama kamu," katanya sambil tersenyum.

"Iya. Aku juga minta maaf ya," kataku.

"Oh iya, ini buat kamu. Kita makan sama sama yuk," katanya sambil mengeluarkan roti 2 buah. Lalu kami makan sama sama. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Rasa rotinya normal.


Musim semi kedua di London. Ini saatnya aku pulang lagi ke Amerika. Aku sangat merindukan sahabatku, kekasihku, dan orang tuaku.

Di airport. "Hati hati ya Patrik. Oh iya, ini aku kasih roti. Makan sekarang ya. Kamu belum ada makan kan?" Kata Liana sambil mengeluarkan sebuah roti.

"Makasih ya Liana. Aku makan sekarang ya," kataku menyuap roti pemberian Liana.

"Iya. Hati hati ya, dadah." Kata Liana. Setelah selesai makan aku langsung ke ruang tunggu. Hanya 5 menit di ruang tunggu aku langsung masuk dalam pesawat.


Airport di Amerika. "Hei Beib," kata seorang gadis memanggilku.

"Oh my darling. Denniseeeee," kataku langsung memeluk Dennise. Tapi tiba-tiba aku merasa pusing, kepalaku menjadi berat, semua yang kulihat menjadi buram. Semakin lama semakin tak jelas. Lalu menjadi hitam......

****

"Beb, kita ke dokter yuk. Kamu kayak gini terus dari kemaren," kata Dennise menyadarkanku.

"I'm okay beib," kataku. "Hei, aku ingat sewaktu aku terakhir di London. Waktu aku di airport di London, aku diberi roti oleh Liana. Apakah roti itu punya khasiat untuk membuat orang menjadi amnesia setelah 3 jam memakannya?"

"Entahlah," kata Dennise bingung.

"Oh astaga! Liana bisa mengontrol keadaan di sekitarku! Aku pernah melihat layar komputernya saat aku tertidur. Ada gambar lingkungan di sekelilingku. Apakah dia juga bisa mendengarkanku?" Kataku.

"Dia bisa mengendalikan tubuhmu. Tapi aku tak tau dia bisa atau tidak mendengarkan semua pembicaraan kita. Tunggu, kenapa dia bisa melihat sekelilingmu?" Tanya Dennise.

"Sewaktu aku di London, aku juga pernah diberi roti oleh nya. Apakah mungkin di dalam roti itu ada ramuan khusus untuk bisa menempelkan sebuah kamera yang sangat kecil di tubuhku. Kamera itu bisa menembus kulit daging dan tulangku. Apakah itu masuk akal?" Tanyaku.

"Entahlah. Apa sebaiknya kita pergi ke London?" Kata Dennise.

"Emm yah. Ayah nya Liana bahkan pernah mencoba untuk menghentikan Liana, tetapi Liana nya sangat keras kepala." Kataku.

"Oke, sekarang kamu tidur dulu yang tenang. Besok aku akan memesan tiket untuk kita berdua ke London."

"Oke. Makasih ya sayang," kataku.

---------

Aku terbangun dari tidurku. Lalu aku langsung menuju ke bawah. Ayah dan mamahku sudah pulang ke rumah mereka, yah rumahku juga sih. Jadi aku hanya melihat gadis manisku seorang. Dia hari ini memakai rok selutut berwarna hijau tua dengan baju nya yang tanpa tangan (mirip kemben) warna hijau muda. Cantik.

"Eh hai Patrik-tik. Hari ini kita langsung pergi aja ke London jam 4 sore. Aku tadi udah mesen tiket. Hari ini sampai urusan kelar, aku nggak sekolah, izin. (Di amerika sama london, libur sekolah nya beda)." Kata Dennise.

"Oh sweety, makasih yah." Kataku. Tiba tiba aja kaki aku tersandung dan aku jatuh. Dan aku tak sadarkan diri.

Saat semua hitam, aku bisa mengingat semua kenangan ku dari aku kecil sampai sekarang. Sekarang semuanya tampak jelas. Mengapa Liana begitu membenciku.

Aku berpacaran dengan Liana hanya karena aku kesepian. Aku merindukan Dennise saat itu, aku perlu seseorang yang bisa menemani hariku. Tak kusangka semua hal buruk yang terjadi ini karena kebodohanku.

Aku juga ingat saat Liana membayat seseorang untuk menabrak Dennise 1 tahun yang lalu, tetapi untungnya Liana gagal.


Seseorang memanggil namaku. Pelan pelan aku membuka mata. Kupandang gadis cantik yang nampak khawatir di depanku. "Don't leave me, idiot," kata Dennise sambil tersenyum lega.

"Haha. Sorry," kataku. "I remember everything."

"Seriously?" Katanya tersenyum. Aku menganggukkan kepalaku. Lalu kubelai rambut indahnya. "Hei, kau pingsan selama 2 jam. Ini saatnya kita siap siap, hun. Jam 3 sudah harus pergi ke airport."

"Okay okay," kataku.

Setelah itu kami siap siap sampai jam 3, barulah kami langsung ke airport.


London, 7.30 p.m. Aku bersama Dennise tidak langsung mencari ayah Liana. Kami istirahat dulu di sebuah hotel berbintang di London.

--------

Aku terbangun dari mimpi indah ku malam tadi. Lalu aku bersiap siap hendak pergi ke rumah Liana. Hei, aku ingat rumah Liana, ingatanku sudah kembali.

"Are you ready?" Tanya Dennise.

"Surely yes," kataku.

Lalu kami berdua pergi ke alamat rumah Liana yang samar samar masih kuingat. Dan kami pun sampai di sebuah rumah bergaya Belanda, rumah kuno belanda. Sedikit angker memang, tapi disitulah mantan ku tinggal, yah itu seingatku sih.

"Are you sure this is Liana's home?". Tanya Dennise.

"Maybe,"

Lalu kami mengetuk pintu rumah itu. Tak lama pintu terbuka, dan di sana kulihat sesosok wanita cantik sedang berdiri di balik pintu.

"Hei fucking Patrik," kata wanita itu, Liana.

"I wanna meet your dad," kataku to the point.

"I'm not stupid, Patrik. I know what your plan. I can see you, I can hear you." Kata Liana sambil tersenyum sinis.

"Why you do this to him?" Tanya Dennise.

"Because, he choose you!" Kata Liana. "Hei Patrik, aku sudah menyuruhmu untuk membunuh cewek brengsek ini kan?"

"Shut up, bitch!" Kataku.

"Hei, duduk dulu yuk. Kasian banget kalian berdiri aja." Kata Liana. Lalu kami semua duduk di sofa ruang tamu. "Btw, kalian ngomong ke ayahku itu nggak ngaruh! Aku nggak akan menuruti perintah ayah ku yang gila itu!" Kata Liana.

"So? Will you disturb my life forever? Do you hate me so much?" Tanyaku.

Dia tersenyum sinis, "yeah I hate you. I hate you, Patrik! But, do you know? I love you! I love you than you know! But you choose that ugly girl! You dissapointed me!" Kata Liana. Matanya mulai basah. "Hei, aku bawakan minum dulu ya. Biarkan aku benci pada kalian, kalian adalah tamuku."

Lalu dia berjalan. "I'm sorry Liana," kata ku setengah berteriak. Tapi dia tetap berjalan. Entah dia mendengar atau tidak.

Lalu Liana datang membawakan 3 gelas minuman. Tanpa rasa curiga aku meminumnya. Dennise tidak minum karena sedang tidak haus, dan Liana, dia meminum dari mug nya sendiri.

Entah mengapa matakuku jadi berkunang kunang. Kepalaku pusing. Dan semuanya tampak gelap, lagi.

#writer's pov#

"What are you doing to him?" Tanya Dennise dengan nada khawatir.

"Ha-ha. Just look. 5 menit lagi dia akan bangun. Bersabarlah." Kata Liana.

"TAPI KENAPA BISA PINGSAN SIH!? KAU KASIH DIA APA!?" Teriak Dennise ke Liana.

"Hei, calm down. Aku hanya mengasih ramuan ku kok. Bersabarlah untuk menunggunya bangun." Kata Liana.

5 menit setelah itu Patrik membuka matanya. Dan dia berkata kepada Dennise, "I must kill you. You must gone from this world." Dengan wajah datarnya.

"Patrik?" Tanya Dennise bingung. Lalu dia menatap Liana, "why? Kenapa kamu ingin menjadikan orang yang kamu sukai sebagai pembunuh? Kenapa kamu begitu ingin aku pergi dari kehidupan Patrik?" Kata Dennise dengan mata yang berkaca kaca.

Liana tidak membalas apa apa. Lalu Patrik mengambil pisau di dapur dan kembali mencari Dennise. "Aku siap bila kau ingin membunuhku." Kata Dennise.

Lau Patrik berkata, "Kill kill kill kill kill kill-------" kata katanya terputus karena Dennise mencium lembut bibirnya. Ciuman yang seakan akan itu adalah ciuman terakhir mereka. Ciuman yang lama dan terasa sedih. Liana hanya tercengang melihatnya. Lalu Dennise menjauhkan dirinya, bibirnya jadi sedikit bengkak karena dia sudah lama tidak berciuman seperti itu dengan seseorang.

"Dennise?" Tanya Patrik. Lalu dia melihat tangan kirinya yang sedang memegang pisau. "What am I doing?" Tanya Patrik.

Dennise tersenyum haru, "kau kembali," katanya. Air matanya masih keluar, tapi saat ini adalah air mata terharu. Dennise langsung memeluk Patrik.

"What? Why? Apa cinta sebegitu hebatnya? Apa cinta bisa melawan segalanya? KENAPA? KENAPA HANYA AKU YANG DIRUGIKAN OLEH CINTA! Bahkan aku sampai ingin menyuruh orang yang kucintai untuk membunuh orang yang dicintainya. Betapa kejam nya aku." Kata Liana dipenuhi air mata. Dia terduduk, kepalanya disembunyikan di kedua tangannya. " I'm so stupid. Oh my god, I'm not believe the miracle love! Hell love! Fuck love! Love is bullshit!" Kata Liana berkata pada dirinya sendiri.

Lalu Patrik menepuk bahunya Liana, "cinta bukan lah sesuatu hal yang buruk. Cinta mengajarkan sesuatu yang baru. Sebelumnya kau tak pernah merasa senang, sedih, kesal, bahkan begitu marah hanya karena cinta kan?" Kata Patrik.

"Tapi aku hanya sendiri! Aku bertepuk sebelah tangan. I'M A LOSER!" Kata Liana.

"Cinta tak harus memiliki. Memang bila kita tak memiliki orang yang kita cintai rasanya sangat amat teramat sakit. Tapi akan lebih sakit lagi bila kita melihat orang yang kita cintai pura pura cinta pada kita, tersenyum paksa pada kita, tertawa paksa akan lelucon kita, bahkan wajah orang yang kita cintai tak akan pernah terlihat bahagia bila bersama kita-orang yang tidak dicintainya." Kata Patrik.

Liana menghapis air mata nya. "I'm sory, Patrik, Dennise. Aku egois. Aku tak memikirkan kalian. Maaf ya" kata Liana dengan sebuah senyuman tulus. Senyum yang benar benar tulus dari hatinya. Senyum yang akan membawa Liana ke kehidupan barunya, melupakan cinta pertamanya.

"It's okay," kata Patrik dan Dennise bersamaan.

"Aku akan berubah," kata Liana benar benar tulus.

"Ya, kami tau itu." Kata Dennise sambil tersenyum.

Setelah kejadian itu, Dennise dan Patrik langgeng aja hubungannya, adem ayem. Dan liana? Liana sudah tidak terlalu berminat dengan formula formula bodohnya itu. Dia lenih memilih menjadi seorang penulis dari pada ilmuan. Dan Liana menemukan seseorang yang dicintainya yang juga mencintainya.

~~~~~~ TAMAT~~~~

Saturday, August 20, 2011

the secret of the story

Posted by adena riskivia trinanda at 9:32 AM 0 comments
Mataku mulai terbuka. Yang awalnya hanya terlihat kegelapan, sekarang samar samar aku melihat dunia yang lebih berwarna, dunia yang hidup.

Kulihat ruangan itu, dinding putih, atap putih, ranjang putih, infus, makanan yang tak dimakan, bau obat, tempat tidur keras, semuanyaaa.

"You wake up." Kata seorang wanita memelukku. "What happened with you? You like different." Katanya tampak khawatir.

"Am I different? Wait, who are you? Am I know you?" Kataku kebingungan.

"What? You don't remember me? How can? How abot our memories?" Kata wanita tadi.

"I really really forget. Can you stop to talk about this?" Bentakku.

"Sorry...." katanya. "Oke, for now, you can stay in my house. You are not safe for now, so you can't stay in your fucking home." Katanya dengan kata kata yang sedikit kasar.

Aku memutar bola mataku, "yayaya. What ever, little fucking girl." Kataku.

"Hey! Don't call me like that! I have a name! My name is Dennise!" Kata wanita yang ternyata bernama Dennise itu.

Aku hanya tersenyum simpul, "I don't care, l-i-t-t-l-e f-u-c-k-i-n-g g-i-r-l." Kataku. Mukanya merah padam, kupikir dia akan meledak saking kesalnya. "Wait, I don't know what's my name."

"Ha! I will tell you if you promise you willnot call me 'little fucking girl'"

"Yaya. So, what is my name, young lady?" Kataku.

"Your name is Patrik Pattison, my Patrik-tik" Katanya sambil tersenyum.

Entah mengapa kepalaku jadi pusing saat mendengar dia memanggilku patrik-tik, seakan kepalaku akan terbakar saking sakitnya. Lalu sebuah kenangan yang terlupakan mulai buram buram teringat.

****

Saat itu aku berdiri di sebuah ruangan yang lumayan besar, bukan! Sebenarnya, sangat besar. Dindingnya dihiasi oleh rak rak buku yang berisi buku buku rumit.

"Hei, little boy, why you look so sad?" Tanya seorang lelaki yang sepertinya sebaya denganku yang saat itu masih berumur 7 tahun.

"I don't know where I am. I dunno how can I go home." Kataku masih sambil jongkok dan menutupi mukaku dengan kedua tanganku.

"I will accompany you. Come on, we will search the way to go home." Katanya sambil menyodorkan tangannya padaku. Aku tak berkata kata lagi. Aku hanya bisa membalas gandengan tangannya.

Sedikit canggung memang. Tapi itu tak bertahan lama. Sampai di sebuah ruangan yang isinya hanya alat musik saja.

"Hey there is a piano. I can play it." Kataku.

"Hurry up. I wanna see you to play it."

"Ehem. Okay." Kataku. Lalu setelah itu aku memainkan sebuah lagu yang merupakan salah satu karya mozart, Kindersinfonie-simponi anak anak- dengan sangat lancar dan bahkan sempurna. Sebuah hal yang luar biasa bisa memainan lagu mozart dengan sempurna diusia 7 tahun. Hei, bukan berarti aku menyombongkan diri.

Setelah berhasil memainkannya, anak lelaki tadi bertepuk tangan untukku.

"Amazing. How cool you are." Katanya sambil masih bertepuk tangan.

"Ahaha. Thank you."

Setelah itu kami berjalan jalan lagi dengan tujuan mencari orang tua kami masing masing. Sekarang suana tidak canggung seperti tadi. Lebih banyak tertawa dan bercanda.

Ternyata 2 jam berjalan jalan tidak sia sia. Aku menemukan orang tuaku, dan dia menemukan orang tuanya.

"Look at you, my little girl. You have a friend." Kata ayah anak lelaki tadi. Wait, little girl kata ayahnya tadi?

"What? Is he a girl?" Kataku tak persaya.

"Not he, but she." Kata ibuku membenarkan. Aku terbelalak mendengarnya.

Dia seorang cowok. Maksudku penampilannya sungguh seperti lelaki. Celana panjangnya yang gebor, baju kaos nya yang warna hitam dan dilapisi jaket warna hitam juga. Rambutnya yang pendek. Sepatunya sepatu kets. Semuanya seperti lelaki.

"Like I said, little girl, you must change your style to be like a girl." Kata ayahnya sambil mengacak acak rambut 'putri'nya.

"Hei dad! Stop it!" Katanya sambil menjauhkan kepalanya dari tangan ayahnya. "So, what's your name?" Tanya gadis kecil itu sambil mengulurkan tangannya.

"Patrik. Patrik Pattison." Kataku sambil membalas jabatan tangannya.

"Dennise. Dennise Wahington." Katanya. "Nice to meet you, Patrik-tik" katanya sambil menyeringai.

"What? Patrik-tik?"

"Yep. I'll call you, Patrik-tik" katanya sambil tersenyum.

****

Kepalaku benar benar terasa sangat panas. "Hei, Patrik-tik, are you okay?" Tanya Dennise.

"I... I'm fine." Kataku berbohong. Ingatan yang buram itu sudah melekat di kepalaku. Hanya ingatan itu saja yang masih ada di kepalaku.

"Okay. Let's we go home." Kata Dennise. Lalu kami meninggalkan tempat, dimana aku ditemukan Dennise.

Tak memakan waktu lama, aku sampai di sebuah komplek perumahan yang menurutku tempat orang orang kaya. Dan mobil berhenti di sebuah rumah gaya barat yang sangat sangat luas. Halamannya juga sangat luas. Rumah itu berwarna krim. Ada air mancur di halamannya. Rumah itu 3 lantai. Di sudut kanan halaman, terdapat garasi mobil, bisa terlihat di sana bahwa banyak sekali mobil yang ada. Mungkin 10, ah tidak, mungkin 20, ah bukan bukan, pokoknya banyak gitu ah.

"Leggo." Kata Dennise sambil menarikku.

Lalu Dennise mengantarku ke lantai 2 rumah ini. Aku dipinjamkan sebuah kamar yang sangat luas. Ada tempat tidur yang luas di sana, ruangan pakaian, wc, TV, jendela yang bisa dibuka dan menghubungkan ke beranda, meja komputer dan komputernya, 2 buah lemari buku tanpa isi.

"This is your room." Kata Dennise sambil tersenyum.

"Wow cool." Kataku, dan reflect aku memeluk Dennise. Lama. Setelah tersadar aku langsung menjauhkan diri dari Dennise. "Sorry." Kataku. Wajah Dennise memerah. Dia lalu tersenyum. Senyuman penuh kerinduan. Aku tak paham maksud dari senyumannya itu.

Tak lama, Dennise pergi meninggalkanku sendirian di kamar baruku. Aku jadi teringat kata Dennise bahwa aku belum aman. Aman dari apa? Entahlah. Aku lupa.

Tiba tiba aku seperti mendengar sebuah bisikan tak jelas. Aku langsung mencari cari asal suara. Tetapi percuma, aku takkan pernah dapat menemukannya. Lalu bisikan itu semakin lama semakin jelas. Yang terdengar ditelingaku adalah 'kill. Kiil her. Kill. Kill. Kill. Forget her. Kill her.' Aku langsung menggelengkan kepalaku dan menutup telingaku dengan bantal. Tapi percuma, bisikan itu tetap terdengar. Bahkan sangat teramat jelas. 'Kill her. She hurt you. Kill. Kill with your hands. Kill'

--------

Semalaman aku tidak bisa tidur, jadi mungkin wajar kalau kantung mataku sekarang jadi berlipat-lipat. Semalaman suara kampret itu terus terdengar di telingaku.

"Hei Patrik-tik" kata Dennise setelah melihatku yang turun dari tangga.

"Hei Dennise." Kataku. "Em, Dennise?"

"Em?"

"Kenapa kamu berbeda sama yang dulu?" Tanyaku ragu. Yah dulu dia sangat tomboy sampai tak bisa dibedakan dengan lelaki. Tapi lihat sekarang, dia memakai baju tengtop panjang dan gebor warna hijau dengan celana jins warna hitam. Rambut hitamnya yang bergelombang sekarang sudah sampai pinggulnya. Kalau dulu dia seperti cowok, sekarang dia seperti dewi Venus dari romawi kuno yang sedang berada dalam wujud manusia, ini artinya dia sangat amat teramat cantik.

"What do you mean? Kamu bahkan tak ingat sama sekali.

"I remember when we first meet."

Dennise terdiam. Lalu dia tersenyum sambil berkata, "temukanlah jawabannya sendiri. Ingatlah kembali Patrik," senyumnya terlihat miris.

Aku hanya terdiam terpaku. Bingung hendak membalas apa.

"Let's eat." Kata Dennise.

"Where is your parents?" Tanyaku.

"Yah, you know, my parents are very very very busy." Katanya tanpa senyuman. Dan lagi lagi aku terdiam tak bisa membalas kata katanya.

Suasana canggung, jadi aku mencoba untuk mencairkan suasana. "Em Dennise. What will I do after this?" Tanyaku.

"What do you wanna do?"

"Just.... I dunno. What will you do?"

"School, like another teenager. Come back to the hell fucking place." Katanya. (Wajar yah di luar negeri itu sekolah pake baju bebas)

"Can I come to school? I wanna school." Kataku.

"He? Your school isn't here. Your school is in London, remember it?" Katanya.

Lagi lagi kepalaku terasa panas. Mataku berkunang kunang. Semakin lama semuanya tampak pudar dan menjadi gelap.

****

Saat itu aku berada di sebuah rumah yang aku kenal, itu rumah Dennise.

"Hei, already to lose?" Kataku sambil menyeringai.

"I'll win, you'll lose. Loser." Kata seorang 'gadis' yang sudah berumur 12 tahun itu. Perawakan nya masih sama seperti dulu, masih seperti lelaki.

"Hei, I'm not loser!" Kataku. Lalu kami melanjutkan nermain PlayStation milik Dennise sambil dipenuhi dengan senda gurau.

Bermain membutuhkan waktu 2 jam lebih untuk kami. Ya, kami penggila game. Ha.

"Den," kataku. "I will move to London."

"What? Why? When?" Tanyanya.

"Aku direkomendasikan di sekolah paling hebat di London. Sekolah untuk orang orang yang pintar bermusik. Banyak lulusan sana yang bisa menjadi pemusik dunia." Kataku.

"Oh ya, kau pintar bermain piano." Kata Dennise sambil tersenyum simpul. "When?"

"I think next month."

Dennise terdiam lalu langsung memelukku. Aku spechless. "I will miss you, Patrik-tik"

Aku tak bisa berkata apa apa. Yang ingin kulakukan saat itu adalah membalas pelukannya, aku ingin memeluknya juga, tapi kuurungkan niatku itu.

Tak lama, Dennise melepas pelukannya. Terlihat dari matanya, dia habis menangis. Dan bahuku terasa basah.

"You must to know," kata Dennise. "I love you," katanya blushing.

Aku tidak bisa berifikir apa apa. Aku langusng keluar rumahnya dan pulang ke rumahku. Saat itu aku lari dari kenyataan bahwa aku mencintainya juga.


Sewaktu keberangkatan, aku sangat berharap bahwa Dennise datang. Sejak kejadian 'itu' aku tidak pernah bertemu Dennise lagi, bahkan di sekolah aku selalu menghindarinya dan dia menghindariku.

"We will miss you, my sweety boy." Kata mamah ku.

"I will miss you too, mom," kataku sambil memeluk mamahku.

Itu saat sesi peluk memeluk antara aku, papahku, dan mamahku. Untuk sesaat aku melihat ke arah lain, mencari sesosok gadis yang berperawakan lelaki. Dan samar samar aku melihatnya. Berlari dari jauh.

"Dennise?" Kataku pelan. Semakin lama sosok itu semakin jelas sampai dia berada di depanku.

"Hhhhh.... Kalau.... Hhhhh... Kalau kami udah balik ke sini, hhhhh..... Aku bakal berubah jadi wanita yang sebenarnya. Hhhhhh...." Kata Dennise sambil terengah engah.

Aku tersenyum, "I will waiting." Kataku lalu langsung memeluknya.

*****

"Are you okay?" Kata seorang wanita yang suaranya terdengar familiar olehku.

Kubuka mataku pelan pelan. Samar samar aku melihat Dennise sedang memegang tanganku dan terlihat dari wajahnya bahwa dia sangat khawatir.

"Hei Dennise," kataku sambil tersenyum.

"I'm worry." Kata Dennise.

"I love you," kataku tersenyum lalu wajah Dennise blushing. Dia lalu langsung memelukku.

"Love you too," katanya. "Kau sudah pernah mengatakannya."

"Hah? Kapan?" Tanyaku.

"Kau akan mengingatnya. Puzle puzle tentang kenangan kita semakin lama akan semakin lengkap," katanya tersenyum.

"Kenapa aku bisa ada di rumah sakit sewaktu dulu itu?" Tanyaku.

"Hanya kau yang tau, patrik-tik"

"Where is my parents?" Tanyaku.

"They will come. They from Japannese." Kata Dennise. "I called your parents yesterday."

Lalu setelah itu Dennise keluar, dan suara bisikan itu mulai terdengar, 'kill. Kill. Kill. Kill. Kill. Kill. Kill' hanya itu yang terdengar.

"Arghhhhhhhhhhh! Stop it! Stop! Stop! Stop!" Aku mulai berteriak seperti orang gila.

Tak lama pintu kamar ku sudah terbuka, Dennise masuk ke dalam dengan sangat khawatir, "what happen?"

"I dunno. Aku hanya mendengar suara bisikan." Kataku.

"Bisikan? Bisikan apa?" Tanya Dennise.

Aku tak menjawab. Aku hanya terdiam dan mencoba berfikir. Tak lama Dennise keluar lagi tapi sebelumnya dia mencium keningku.


Sekarang aku bisa melihat suatu tempat yang bukan kamarku. Tempat ini seperti sebuah laboratorium. Komputernya banyak, layar nya banyak juga, ada bermacam macam alat teknologi yang aneh. Di sana ada seorang gadis muda dan seorang lelaki tua. Gadis itu memperhatikan layar dan lelaki tua itu sedang mencoba percobaan barunya.

Eh tunggu, di layar itu ada gambar seperti ruanganku. Hei, apa maksudnya itu?

"Lelaki bodoh! Kamu pasti jadi milikku Patrik! Haha!" Kata gadis itu.

"Liana, stop do this!" Kata lelaki tua.

"Dia yang salah pah! Dia meninggalkanku demi wanita jelek itu!" Kata gadis yang bernama Liana. Lalu dia mengambil earphone nya dan mulai berkata, "kill. Kill her. You don't need her. Kill her, RIGHT NOW!!!!!"

Lalu suara itu mulai berbisik di telingaku. Dan lama kelamaan semua menjadi gelap. Semuanya hitam-----


"Hei Patrik, wake up. This is your mom," kata seorang wanita berumur membisikiku.

Aku lalu membuka mataku, duduk bersandar di ranjang lalu mengucek-ngucek mataku. Kulihat seorang wanita yang mungkin berumur 40an sedang menggenggam tanganku. Apakah mungkin dia ibuku?

"Mom?" Tanyaku.

"Yes," kata wanita itu lalu memelukku.

Kulihat di sebelah mamahku ada ayahku, mungkin.

"Is he dad?" Tanyaku pelan.

"Yes, I'm your dad, my strong boy," kata ayahku sambil memukul lenganku dengan main-main.

Lalu aku teringat kembali akan mimpi ku yang aneh. Tapi jika itu mimpi, itu tampak seperti nyata, sungguh. Apakah itu seperti telepati atau penglihatan indra keenamku? Entahlah. Lagi pula aku lupa wajah gadis dan lelaki tua itu. Bahkan aku lupa nama gadis tadi.

"Kenapa bengong, hun?" Tanya mamahku.

"Hah? Ehehe," kataku.

--------

Pagi ini aku membuka mata dengan sedikit ceria, aku mulai ingat beberapa puzle ingatanku yang lepas. Semakin lama puzle itu semakin terkumpul.

Aku langsung keluar dari kamar dan menuju ke bawah. Ku lihat kedua orang tua ku ada di bawah. Sepertinya mereka tinggal di sini untuk sementara. Dan ada seorang gadis cantik sedang duduk di sofa sambil menonton TV, itu Dennise.

Hari ini Dennise memakai hotpants dan camisol hitam. "Helo beb," kataku sambil menuju kearah Dennise.

"Oh hei," katanya. Aku lalu duduk di sebelahnya sambil merangkul pundaknya. Dia lalu mersandar di bahuku. "Aku takut kalau Liana menyakiti kita lagi, beb. Ingat waktu dia pernah menyakiti kita dulu?"

Kepalaku panas lagi. Pasti akan ada puzle baru yang kudapat. Lalu samar samar ada ingatan ku yang terlupakan sekarang jadi ingat.

****

Musim semi di London. Sudah 2 tahun aku di London. Ini saatnya aku pindah lagi ke Amerika.

"Will you come again to London?" Tanya seorang gadis manis.

"Yes, baby. Of course. I love you, you know that."

"Promise?" Tanyanya.

"Yes," kataku lalu mengecup bibirnya dengan cepat.


Di airport. Aku, dua sahabatku, dan kekasihku sedang peluk pelukan di airport.

"Don't forget me, okay bro?" Kata salah seorang sahabatku yang bernamu Jhon.

"Ofcorse. I love you guys," kataku ke Jhon dan Tomas.

"Don't look another girl in America, okay?" Kata Liana, kekasihku.

"Okay my baby boo." Kataku sambil memeluk nya.

"I will miss you,"

"Me too, hun." Kataku. Lalu aku bertaut bibir di airport dengannya. Setelah itu aku memasuki ruang tunggu dan menunggu pesawat.


Amerika. Terlihat kedua orang tua ku menungguku. Ada sahabat ku juga, Alan. Dan ada seorang gadis yang benar benar cantik. Gadis itu memakai rok selutut dengan baju kaos hitam yang dilapisi kardigan putih. Gadis itu benar benar cantik. Siapa dia? Tapi rasanya aku punya ikatan batin yang kuat dengannya.

"Hei Patrik," kata mamahku langsung memelukku. Ayahku hanya tersenyum ke arahku.

"What's up bro? Ada cewek cantik nggak di London sana?" Kata Alan.

"Hei bro. Banyak banget. Bahkan gue udah punya pacar di sana. Cantiknya gila men." Kataku. Lalu kulihat gadis asing tadi, dia menunduk sedih setelah aku mengatakan aku sudah punya pacar.

"Hei, Patrik-tik." Kata gadis tadi mengangkat kepalanya sambil mencoba tersenyum.

"Dennise? Ini kamu? Rambutmu panjang ya sekarang? Penampilanmu berubah?" Tanyaku.

"Iya, aku kan udah pernah bilang sebelum kamu pergi. Aku akan berubah." Katanya.

"Kamu.... Kamu cantik." Kataku. Dia lalu merona. Sumper duer gila cantik bangets.

"Thanks." Katanya.


2 bulan sudah aku di Amerika. Hubungan ku dengan Liana masih normal, kami masih saling kontak kontak an. Hubunganku dengan Dennise semakin dekat. Bahkan sekarang aku merasakan hal yang tak biasa saat bersama Dennise. Aku sering sesak nafas bila dekat dangannya. Jantungku tak pernah berdetak dengan normal bila kubersamanya, perasaan yang aneh.


Sudah 1 bulan aku lost kontak dengan Liana. Perasaan ku ke Dennise semakin kuat. Aku tau itu perasaan apa, itu adalah perasan asam manis pahit *nano nano* dalam kehidupan, perasaan cinta. Kalau aku bersama dengan Liana, aku tak pernah merasakan perasaan ini. Apakah aku jadian dengan Liana hanya karena memuaskan nafsu dan hasrat ku, atau hanya karena aku kesepian. Entahlah.

Saat ini aku tidak tahu dia sekarang bagaimana, apakah dia setia denganku, apakah dia masih memikirkan aku karena kami sudah tidak saling kontak selama 1 bulan.


Hari itu cuacanya cerah. Matahari seakan sangat bersemangat untuk berbagi kehangatan dari dirinya *artinya harinya panas banget boooo*. Aku sedang berada di sebuah rumah minimalis modern bersama Dennise. Hei, itu rumah ku.

"Den, do you have a boyfriend?" Tanyaku menatapnya dengan serius.

"What? Ahaha. I don't have a boyfriend, you know that." Katanya. Tawanya seakan menggetarkan jiwaku. Senyumnya seakan menjadi pengganti oksigen dalam tubuhku. Betapa beruntungnya aku. Aku bisa satu ruangan dengan seorang duplikat dewi Venus, satu udara, dan satu nafas.

"Hei, kau sangat cantik, apakah kau tau?"

"What? Haha. Jangan gombal deh. Ingat pacarmu di London nunggu." Katanya masih sambil tertawa.

"Aku nggak tau sekarang apakah kami masih bisa dibilang sebagai pasangan kekasih atau bukan. Aku nggak tau apakah dia selingkuh atau tidak. Sepertinya hubungan kami berakhir," kataku.

Lalu dia tersenyum miris, "don't be sad. Aku akan selalu ada untukmu, bro." Katanya.

Lalu aku menatap matanya dengan lembut. Ku tatap bibirnya yang sedikit basah karena habis minum. Dan tanpa sadar, wajahku mendekat dan bibirku dan bibirnya bersentuhan. Lalu Dennise menjauhkan diri dariku.

"What are you doing?" Tanyanya. "Hell! Jangan jadiin aku pelampiasanmu ya! Jerk!"

Lalu dia berdiri dan hendak meninggalkanku. Tetapi aku menahannya. "Aku nggak pernah menganggapmu sebagai pelampiasan, Dennise. I love you, it's true." Kataku.

"Liar! You are a big liar!" Katanya sambil mencoba melepaskan tangannya dariku.

"Oh come on. I tell the truth. Please, believe me." Kataku.

Dia terdiam untuk sesaat. "Okay I believe you," katanya.

Senyumku melebar. "So? Do you love me? Wanna be a special person for my life?" Tanyaku.

Dia tersenyum, "sejak dulu aku udah jatuh cinta sama kamu kok. Ingat saat kita masih 12 taun? Aku menyatakan cinta padamu," katanya sambil nyengir.

Lalu aku mendekapnya erat, sangat erat.


7 hari setelah itu, aku dan Dennise sedang berada di rumahku. Kencan di rumah. Saling tertawa, lalu aku memeluknya dan menciumnya. Saat aku menciumnya, seseorang membuka pintu kamarku.

"Patrik? Who is her!?" Tanya seorang gadis yang suaranya sangat familiar untukku.

"Liana? How can you come to america? How can you know my house?"

"Kau pernah memberitahuku!" Katanya. Lalu Liana menatap Dennise dengan padangan kesal dan jijik, "you are fucking bitch! Go to hell, BITCH! Oh come on, you are JERK! SUCK! ASS HOLE!" Kata Liana memaki maki Dennise.

Refleks dong aku memukul wajah Liana. "Stop to call her like that!" Kataku.

Matanya sekarang basah. Air mata nya keluar. "You still my boyfriend! Kenapa kamu selingkuh, bajingan?" Katanya. Mukanya tampak sangat kesal.

"Kita sudah tidak saling kontak selama 1 tahun! Itu namanya kita sudah putus, Liana!" Kataku juga sangat kesal.

"Hei brengsek, itu hanya kau yang berpikiran seperti itu! Apakah engkau pernah bertanya tentang status hubungan kita yang sekarang kepadaku, nggak ada! EGOIS!" Kata Liana sambil tersenyum merendahkan.

Kepalaku panas. Aku sangat kesal dengan Liana. "GET OUT FROM MY HOUSE!"

"Okay. Good bye, jerk!" Katanya lalu langsung meninggalkanku dan Dennise.


Ternyata Liana pindah ke London. Dia satu sekolah dengan kami. Setiap hari dia selalu mengerjai Dennise dengan obat obat aneh ilmiahnya. Yah dia seorang ilmuan. Ayahnya ilmuan gila. Sampai suatu hari, Liana menuangkan ramuan aneh ke makanan Dennise. Dan akibatnya adalah, Dennise jadi membenciku. Tapi ramuannya segera hilang karena kekuatan cinta kami terlalu besar. Yah, banyak kejadian seperti itu yang diakibatkan oleh Liana.

****

"Hun, are you okay? You look sick." Kata Dennise.

"Emmm yes, I'm okay. I just remember a little memories about me, Liana, and you." Kataku.

Dennise tersenyum dan menenangkanku.


Akhirnya aku terlelap. Dan aku kembali melihat sebuah laboratorium. Laboratorium itu...... Laboratorium itu yang pernah kulihat malam sebelumnya. Apakah aku benar benar bisa telepati? Entahlah.

Dan gadis itu, Liana. Apa yang sedang dia lakukan?

"Haha. Beberapa saat lagi semua akan berjalan sesuai dengan harapanku," kata Liana sambil tersenyum kepada diri sendiri. Lalu dia berbicara lewat earphone nya, "it's time to kill Dennise. Kill her. Kill. Kill. Kill,"

Lalu tiba tiba saja aku terbangun dari tidurku. Tetapi aku tak bisa mengendalikan diriku sendiri. Badanku lalu berdiri dan berjalan menuju dapur. Lalu mengambil pisau. Aku berjalan berjalan berjalan sampai kamar Dennise. Ini semua diluar kuasaku. Dihadapanku sekarang ada Dennise. Aku terus berusaha sekuat tenaga untuk bisa mengendalikan diriku, dan akhirnya aku berhasil mengendalikan diriku. Detik detik terakhir aku ingin membunuh Dennise, aku sudah bisa mengendalikan diriku. Langsung kulepas pisau tadi. Dan Dennise terbangun mendengar suara pisau jatuh.

"Patrik? What are you doing?" Kata Dennise sambil mengucek-ngucek mata.

"A..... Aku nggak tau. Tiba-tiba saja tubuhku diluar kendaliku. Aku mengambil pisau dan hampir membunuhmu." Kata ku.

"What? Seriously?" Tanyanya. Aku mengangguk. Lalu dia melihat pisau yang jatuh di lantai.

"Sebenarnya sudah 2 hari aku mimpi aneh. Bukan, bukan mimpi. Ini tampak nyata, sungguh." Kataku. "Aku melihat sebuah laboratorium. Dan di sana ada seorang gadis, dia adalah Liana. Liana menggunakan earphone nya untuk menghasut pikiranku. Setiap hari dia terus membisikkanku untuk membunuhmu. Dan-----" kata-kataku terputus. Tiba tiba saja kepalaku panas.

"Patrik? Beb?"

Semua lalu tampak hitam.

****

Musim gugur di Amerika. Aku dipanggil ke London oleh sekolah ku yang lama. Katanya aku masih dapat beasiswa, jadi aku segera pergi ke London. Dan sialnya, Liana juga pergi ke London karena direkrut oleh sekolah kami yang dulu. Liana sangat pintar main biola, dia pernah menjadi pemain biola terbaik di Inggris.


Musim semi di Inggris. Aku dipanggil oleh Liana. Katanya ada yang ingin dibicarakan. Lalu aku pergi ke tempatnya.

"Hei, sory ya aku pernah berkata kasar sama kamu," katanya sambil tersenyum.

"Iya. Aku juga minta maaf ya," kataku.

"Oh iya, ini buat kamu. Kita makan sama sama yuk," katanya sambil mengeluarkan roti 2 buah. Lalu kami makan sama sama. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Rasa rotinya normal.


Musim semi kedua di London. Ini saatnya aku pulang lagi ke Amerika. Aku sangat merindukan sahabatku, kekasihku, dan orang tuaku.

Di airport. "Hati hati ya Patrik. Oh iya, ini aku kasih roti. Makan sekarang ya. Kamu belum ada makan kan?" Kata Liana sambil mengeluarkan sebuah roti.

"Makasih ya Liana. Aku makan sekarang ya," kataku menyuap roti pemberian Liana.

"Iya. Hati hati ya, dadah." Kata Liana. Setelah selesai makan aku langsung ke ruang tunggu. Hanya 5 menit di ruang tunggu aku langsung masuk dalam pesawat.


Airport di Amerika. "Hei Beib," kata seorang gadis memanggilku.

"Oh my darling. Denniseeeee," kataku langsung memeluk Dennise. Tapi tiba-tiba aku merasa pusing, kepalaku menjadi berat, semua yang kulihat menjadi buram. Semakin lama semakin tak jelas. Lalu menjadi hitam......

****

"Beb, kita ke dokter yuk. Kamu kayak gini terus dari kemaren," kata Dennise menyadarkanku.

"I'm okay beib," kataku. "Hei, aku ingat sewaktu aku terakhir di London. Waktu aku di airport di London, aku diberi roti oleh Liana. Apakah roti itu punya khasiat untuk membuat orang menjadi amnesia setelah 3 jam memakannya?"

"Entahlah," kata Dennise bingung.

"Oh astaga! Liana bisa mengontrol keadaan di sekitarku! Aku pernah melihat layar komputernya saat aku tertidur. Ada gambar lingkungan di sekelilingku. Apakah dia juga bisa mendengarkanku?" Kataku.

"Dia bisa mengendalikan tubuhmu. Tapi aku tak tau dia bisa atau tidak mendengarkan semua pembicaraan kita. Tunggu, kenapa dia bisa melihat sekelilingmu?" Tanya Dennise.

"Sewaktu aku di London, aku juga pernah diberi roti oleh nya. Apakah mungkin di dalam roti itu ada ramuan khusus untuk bisa menempelkan sebuah kamera yang sangat kecil di tubuhku. Kamera itu bisa menembus kulit daging dan tulangku. Apakah itu masuk akal?" Tanyaku.

"Entahlah. Apa sebaiknya kita pergi ke London?" Kata Dennise.

"Emm yah. Ayah nya Liana bahkan pernah mencoba untuk menghentikan Liana, tetapi Liana nya sangat keras kepala." Kataku.

"Oke, sekarang kamu tidur dulu yang tenang. Besok aku akan memesan tiket untuk kita berdua ke London."

"Oke. Makasih ya sayang," kataku.

---------

Aku terbangun dari tidurku. Lalu aku langsung menuju ke bawah. Ayah dan mamahku sudah pulang ke rumah mereka, yah rumahku juga sih. Jadi aku hanya melihat gadis manisku seorang. Dia hari ini memakai rok selutut berwarna hijau tua dengan baju nya yang tanpa tangan (mirip kemben) warna hijau muda. Cantik.

"Eh hai Patrik-tik. Hari ini kita langsung pergi aja ke London jam 4 sore. Aku tadi udah mesen tiket. Hari ini sampai urusan kelar, aku nggak sekolah, izin. (Di amerika sama london, libur sekolah nya beda)." Kata Dennise.

"Oh sweety, makasih yah." Kataku. Tiba tiba aja kaki aku tersandung dan aku jatuh. Dan aku tak sadarkan diri.

Saat semua hitam, aku bisa mengingat semua kenangan ku dari aku kecil sampai sekarang. Sekarang semuanya tampak jelas. Mengapa Liana begitu membenciku.

Aku berpacaran dengan Liana hanya karena aku kesepian. Aku merindukan Dennise saat itu, aku perlu seseorang yang bisa menemani hariku. Tak kusangka semua hal buruk yang terjadi ini karena kebodohanku.

Aku juga ingat saat Liana membayat seseorang untuk menabrak Dennise 1 tahun yang lalu, tetapi untungnya Liana gagal.


Seseorang memanggil namaku. Pelan pelan aku membuka mata. Kupandang gadis cantik yang nampak khawatir di depanku. "Don't leave me, idiot," kata Dennise sambil tersenyum lega.

"Haha. Sorry," kataku. "I remember everything."

"Seriously?" Katanya tersenyum. Aku menganggukkan kepalaku. Lalu kubelai rambut indahnya. "Hei, kau pingsan selama 2 jam. Ini saatnya kita siap siap, hun. Jam 3 sudah harus pergi ke airport."

"Okay okay," kataku.

Setelah itu kami siap siap sampai jam 3, barulah kami langsung ke airport.


London, 7.30 p.m. Aku bersama Dennise tidak langsung mencari ayah Liana. Kami istirahat dulu di sebuah hotel berbintang di London.

--------

Aku terbangun dari mimpi indah ku malam tadi. Lalu aku bersiap siap hendak pergi ke rumah Liana. Hei, aku ingat rumah Liana, ingatanku sudah kembali.

"Are you ready?" Tanya Dennise.

"Surely yes," kataku.

Lalu kami berdua pergi ke alamat rumah Liana yang samar samar masih kuingat. Dan kami pun sampai di sebuah rumah bergaya Belanda, rumah kuno belanda. Sedikit angker memang, tapi disitulah mantan ku tinggal, yah itu seingatku sih.

"Are you sure this is Liana's home?". Tanya Dennise.

"Maybe,"

Lalu kami mengetuk pintu rumah itu. Tak lama pintu terbuka, dan di sana kulihat sesosok wanita cantik sedang berdiri di balik pintu.

"Hei fucking Patrik," kata wanita itu, Liana.

"I wanna meet your dad," kataku to the point.

"I'm not stupid, Patrik. I know what your plan. I can see you, I can hear you." Kata Liana sambil tersenyum sinis.

"Why you do this to him?" Tanya Dennise.

"Because, he choose you!" Kata Liana. "Hei Patrik, aku sudah menyuruhmu untuk membunuh cewek brengsek ini kan?"

"Shut up, bitch!" Kataku.

"Hei, duduk dulu yuk. Kasian banget kalian berdiri aja." Kata Liana. Lalu kami semua duduk di sofa ruang tamu. "Btw, kalian ngomong ke ayahku itu nggak ngaruh! Aku nggak akan menuruti perintah ayah ku yang gila itu!" Kata Liana.

"So? Will you disturb my life forever? Do you hate me so much?" Tanyaku.

Dia tersenyum sinis, "yeah I hate you. I hate you, Patrik! But, do you know? I love you! I love you than you know! But you choose that ugly girl! You dissapointed me!" Kata Liana. Matanya mulai basah. "Hei, aku bawakan minum dulu ya. Biarkan aku benci pada kalian, kalian adalah tamuku."

Lalu dia berjalan. "I'm sorry Liana," kata ku setengah berteriak. Tapi dia tetap berjalan. Entah dia mendengar atau tidak.

Lalu Liana datang membawakan 3 gelas minuman. Tanpa rasa curiga aku meminumnya. Dennise tidak minum karena sedang tidak haus, dan Liana, dia meminum dari mug nya sendiri.

Entah mengapa matakuku jadi berkunang kunang. Kepalaku pusing. Dan semuanya tampak gelap, lagi.

#writer's pov#

"What are you doing to him?" Tanya Dennise dengan nada khawatir.

"Ha-ha. Just look. 5 menit lagi dia akan bangun. Bersabarlah." Kata Liana.

"TAPI KENAPA BISA PINGSAN SIH!? KAU KASIH DIA APA!?" Teriak Dennise ke Liana.

"Hei, calm down. Aku hanya mengasih ramuan ku kok. Bersabarlah untuk menunggunya bangun." Kata Liana.

5 menit setelah itu Patrik membuka matanya. Dan dia berkata kepada Dennise, "I must kill you. You must gone from this world." Dengan wajah datarnya.

"Patrik?" Tanya Dennise bingung. Lalu dia menatap Liana, "why? Kenapa kamu ingin menjadikan orang yang kamu sukai sebagai pembunuh? Kenapa kamu begitu ingin aku pergi dari kehidupan Patrik?" Kata Dennise dengan mata yang berkaca kaca.

Liana tidak membalas apa apa. Lalu Patrik mengambil pisau di dapur dan kembali mencari Dennise. "Aku siap bila kau ingin membunuhku." Kata Dennise.

Lau Patrik berkata, "Kill kill kill kill kill kill-------" kata katanya terputus karena Dennise mencium lembut bibirnya. Ciuman yang seakan akan itu adalah ciuman terakhir mereka. Ciuman yang lama dan terasa sedih. Liana hanya tercengang melihatnya. Lalu Dennise menjauhkan dirinya, bibirnya jadi sedikit bengkak karena dia sudah lama tidak berciuman seperti itu dengan seseorang.

"Dennise?" Tanya Patrik. Lalu dia melihat tangan kirinya yang sedang memegang pisau. "What am I doing?" Tanya Patrik.

Dennise tersenyum haru, "kau kembali," katanya. Air matanya masih keluar, tapi saat ini adalah air mata terharu. Dennise langsung memeluk Patrik.

"What? Why? Apa cinta sebegitu hebatnya? Apa cinta bisa melawan segalanya? KENAPA? KENAPA HANYA AKU YANG DIRUGIKAN OLEH CINTA! Bahkan aku sampai ingin menyuruh orang yang kucintai untuk membunuh orang yang dicintainya. Betapa kejam nya aku." Kata Liana dipenuhi air mata. Dia terduduk, kepalanya disembunyikan di kedua tangannya. " I'm so stupid. Oh my god, I'm not believe the miracle love! Hell love! Fuck love! Love is bullshit!" Kata Liana berkata pada dirinya sendiri.

Lalu Patrik menepuk bahunya Liana, "cinta bukan lah sesuatu hal yang buruk. Cinta mengajarkan sesuatu yang baru. Sebelumnya kau tak pernah merasa senang, sedih, kesal, bahkan begitu marah hanya karena cinta kan?" Kata Patrik.

"Tapi aku hanya sendiri! Aku bertepuk sebelah tangan. I'M A LOSER!" Kata Liana.

"Cinta tak harus memiliki. Memang bila kita tak memiliki orang yang kita cintai rasanya sangat amat teramat sakit. Tapi akan lebih sakit lagi bila kita melihat orang yang kita cintai pura pura cinta pada kita, tersenyum paksa pada kita, tertawa paksa akan lelucon kita, bahkan wajah orang yang kita cintai tak akan pernah terlihat bahagia bila bersama kita-orang yang tidak dicintainya." Kata Patrik.

Liana menghapis air mata nya. "I'm sory, Patrik, Dennise. Aku egois. Aku tak memikirkan kalian. Maaf ya" kata Liana dengan sebuah senyuman tulus. Senyum yang benar benar tulus dari hatinya. Senyum yang akan membawa Liana ke kehidupan barunya, melupakan cinta pertamanya.

"It's okay," kata Patrik dan Dennise bersamaan.

"Aku akan berubah," kata Liana benar benar tulus.

"Ya, kami tau itu." Kata Dennise sambil tersenyum.

Setelah kejadian itu, Dennise dan Patrik langgeng aja hubungannya, adem ayem. Dan liana? Liana sudah tidak terlalu berminat dengan formula formula bodohnya itu. Dia lenih memilih menjadi seorang penulis dari pada ilmuan. Dan Liana menemukan seseorang yang dicintainya yang juga mencintainya.

~~~~~~ TAMAT~~~~
 

THIS IS THE STORY OF ME :) Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea